Lian Gouw
“Waktu itu hujan deras. Dari bandara langsung ke tempat acara,” katanyi. Perbedaan waktu Jakarta-San Francisco yang lebih dari 12 jam membuat Lian kurang enak badan. Dia mengalami apa yang disebut jet lag.
Kedatangan Lian ke Indonesia membawa perubahan drastis pada sikapnyi. Dari membenci ke mencintai. Terutama mencintai bahasa Indonesia. Cinta yang setengah mati. Sampai Lian memutuskan untuk kursus bahasa Indonesia.
Setelah itu, Lian bolak-balik ke Indonesia. Ke banyak kota. Juga ke Bandung —yang melahirkannyi. Tapi, di Bandung dia sudah tidak punya keluarga sama sekali.
Tempat sekolahnyi, SMA Lyceum, masih ada. Sudah banyak berubah. Rumah sakit Boromeus juga masih ada. ”Kosambi berubah menjadi lebih bagus,” katanyi.
”Bagaimana dengan rumah Nana yang ada di cerita novel itu?” tanya saya.
”Entah…,” jawabnyi. Mungkin rumah yang jadi sentral cerita itu memang hanya fiksi.
”Apakah nama Nana itu diambil dari nai nai yang dalam bahasa Mandarin berarti nenek?” tanya saya.
”Bukan. Nana kan hollands spreken,” katanyi.
Kecintaannyi yang baru pada bahasa Indonesia dia wujudkan di novel terjemahan terbaru itu: dengan judul Mengadang Pusaran. Yang diterbitkan Pustaka Kanisius, Jogjakarta, 2020.
Di novel itu Lian tidak mau menggunakan kata Indonesia yang berasal dari serapan bahasa asing. Lian minta kepada penerjemahnya harus menggunakan kata asli bahasa Indonesia. Harus 100 persen.
Lian tidak hanya cinta bahasa Indonesia. Dia juga merasa bangga dengan kekayaan bahasa Indonesia.
Saat kirim WA ke saya pun, Lian tidak mau menggunakan bahasa Indonesia serapan. Bahasa Indonesia Lian murni.
Terus terang, inilah untuk kali pertama saya membaca novel yang 100 persen bahasa Indonesia-nya asli.
Saya pun menghubungi penerjemah novel Lian: Widjati Hartiningtyas. Saya ingin tahu seberapa sulit mengikuti keinginan Lian itu.
”Beliau sangat keras menentang kata serapan,” ujar Widjati.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: