Dasamuka Jawa
Begitu banyak pengetahuan baru saya dapatkan dari novel ini. Misalnya bagaimana profesi penulis di zaman itu. Juga bagaimana kelakuan Hamengkubowono IV. Yang menjadi raja saat masih sangat belia. Yang hanya jadi boneka ibunya dan boneka Belanda. Yang lebih sibuk memuaskan diri dengan hobinya: balapan kereta kuda di jalan-jalan Yogyakarta yang berdebu. Yang selalu membawa banyak korban jiwa pengawalnya. Yang akhirnya mati muda akibat foya-foya.
Juga bagaimana Sultan Hamengkubuwo V dilantik jadi raja di usia yang masih 2 tahun. Agar tetap bisa dijadikan boneka. Agar Diponegoro tidak naik takhta.
Dan yang saya juga belum pernah tahu adalah: bagaimana raja Jawa membuat arena bronjong. Untuk mengadu manusia lawan harimau. Sebagai bentuk hukuman kepada penjahat. Juga kepada musuh pribadi keluarga raja Jawa.
“Musuh pribadi” di situ termasuk tokoh yang tidak rela anak perempuan atau istrinya diminta raja.
Adakah keterlibatan Inggris di dalam perang Diponegoro? Inggris, ketika masih menjajah Jawa, memang menginginkan Diponegoro yang tampil menjadi raja Jawa. Agar bisa menyejahterakan rakyat Jawa. Tapi Inggris kalah perang. Belanda kembali berkuasa di Jawa.
William yang datang ke Jawa saat Inggris masih berkuasa mencoba tetap bertahan di Jawa di bawah pemerintahan Belanda. William melihat betapa penguasa baru Belanda itu menyengsarakan rakyat. William melihat betapa rakyat tidak puas pada Belanda. William memang sering ke pesantren Bagelen untuk mengetahui dinamika kaum Islam zaman itu.
Padahal di zaman Inggris berkuasa, hukuman yang menyengsarakan rakyat dihapus. Termasuk adat bronjong itu. Kebun Raya Bogor dibangun. Dengan banyak tanaman dikirim dari Jogja. Tidak banyak pajak dikenakan.
Dari novel ini saya baru menyadari: masa hamil tua sebelum perang Diponegoro pecah ternyata begitu rumitnya. Ada masalah takhta. Ada masalah wanita. Ada masalah harta. Ada masalah agama. Ada masalah premanisme. Ada masalah nasionalisme.
Campur aduk.
Semua diramu ke dalam novel Dasamuka yang mengalahkan pertandingan sepak bola Eropa sekali pun.
Tentu Dasamuka adalah sebuah novel. Bukan buku sejarah. Tapi bahwa sastrawan Junaedi Setiyono memilih setting waktu ”hamil tuanya” Perang Diponegoro sungguh pekerjaan yang besar.
Dua minggu lalu saya membaca novel Junaedi Menghadang Pusaran. Dengan setting waktu Indonesia tahun 1.100-1.200. Zaman Jenggala dan Kediri. Yang juga istimewa.
Memang Baladewa belum bisa disejajarkan dengan Bumi Manusia-nya Pramudya Ananta Tour. Yang menggambarkan setting waktu Indonesia di akhir 1800-an dan awal 1900-an. Tapi munculnya karya sastra seperti Baladewa adalah babak baru novel Indonesia setelah Bumi Manusia.
Betapa kuat riset yang dilakukan sastrawan Purworejo, Jateng ini. Betapa jeli pandangan dosen Universitas Muhammadiyah Purworejo ini.
Tidak salah Lian Gouw, sastrawan asal Bandung yang 50 tahun tinggal di California, menerjemahkan novel ini ke dalam bahasa Inggris. Dan menerbitkannya di Amerika lewat Dalang Publishing.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: