Besek Wadas

\"Apakah hari itu Anda tidak takut?\" tanya saya mengenai hari yang mencekam itu.
“Takut sekali. Saya lari ke bukit,\" jawabnya.
Di bukit itu ada sebuah rumah bambu. Isinya orang tua, wanita, yang lagi sakit. Ia langsung tidur di sebelah nenek yang lagi sakit itu.
Tak lama kemudian datang petugas mengetuk pintu. \"Kami lagi menunggu orang sakit,\" jawab petani itu.
Si petugas, katanya, mengintip dari lubang dinding bambu. Lalu pergi.
Sampai jam lima sore ia di ranjang nenek sakit itu. \"Lapar sekali, tapi saya tahan,\" katanya.
Pukul 17.00 keadaan baru tenang. Ia pulang.
\"Nenek itu sampai sekarang masih sakit?\"
\"Masih. Memang sudah tua sekali,\" jawabnya.
Saya sebenarnya ingin berhenti di tiap rumah. Menikmati kata-kata, gambar-gambar, dan komik yang kritis nan jenaka.
Tapi saya harus pulang. Saya hanya mampir ke sini. Saya ingin pulang lewat Selo —selangkangan dua Mer itu, Merapi dan Merbabu. Dulu, ada selangkangan satu Mer lagi: Anda sudah tahu.
Saya pun pamit ke Kiai Nur.
\"Bisa dapat nomor telepon?\" tanya saya.
\"Hemmmm...\", gumamnya sambil seperti meraba-raba sarungnya. \"Handphone saya disita...,\" katanya.
Ia pun bercerita. Di hari yang mencekam itu ia pilih tinggal di masjid. Bersama lebih 100 orang. Mereka mujahadah —berdzikir sepanjang hari. Dengan begitu mereka tidak akan ditangkap. \"Yang keluar masjid untuk wudu saja ditangkap,\" katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: