Panji Gumilang, Kesejukan Beragama, dan Kontroversi
Panji Gumilang, kesejukan beragama dan kontroversi tulisan Taufiq Zaenal Mustofa MSi, Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Indramayu.-Dok Pribadi-radarcirebon.com
Mazhab Bung Karno?
Kontroversi tak berhenti di sini. Beberapa waktu lalu ketika Panji dimintai klarifikasi oleh Kementerian Agama Indramayu, ia dengan tegas mengutarakan bahwa mazhab keberagamaan yang ia anut adalah mazhab Bung Karno atau Ahmad Soekarno, proklamator kemerdekaan republik ini.
Dalam kacapandang Panji, Bung Karno merupakan prototipe pribadi muslim yang maju, progresif, dan kosmopolitan sehingga layak dijadikan acuan.
BACA JUGA:Jawa Barat Menuju Zero New Stunting. Begini Kata Wagub
Ia dengan percaya diri mengejawantahkan tamsil bahwa Bung Karno dulu pernah bergabung dengan Muhammadiyah, lantaran ormas ini dipandang sebagai kantong bagi kaum muslim progresif dan modern.
Tapi seiring berjalannya waktu, Bung Karno sempat memendam kekecewaan terhadap Muhammadiyah ketika melihat praktik shalat antara laki-laki dan perempuan masih menggunakan satir/pembatas.
Bagi Bung Karno, seperti yang dikutip Panji, pembatas shalat antara laki-laki dan perempuan adalah simbol kejumudan dan keterbelakangan.
Pertanyaannya: apakah Bung Karno seorang mufassir yang punya kapasitas menafsirkan Al Quran? Apakah beliau seorang mujtahid mutlak yang berwenang melahirkan produk-produk hukum di bidang syariat/fiqih?
BACA JUGA:KECEWA! Lionel Messi Dipastikan Tidak ke Indonesia, Julian Alvarez Menyusul ke China
Tentu kita semua akan sepakat untuk menjawab: tidak! Bung Karno adalah seorang ideolog, proklamator, pejuang kemerdekaan, pemimpin besar revolusi, negarawan yang belum ada tandingannya. Dalam ranah-ranah itulah kapasitas beliau bisa dijadikan acuan. Bukan dalam hal lainnya.
Jadi menjadikan Bung Karno sebagai referensi praktik ibadah, di samping kurang tepat, juga langkah yang kurang bijak. Sebab semua memiliki porsi, posisi, dan kapasitas masing-masing yang tak perlu dicampur-leburkan.
Kesejukan Beragama
Sebenarnya yang dibutuhkan publik beragama terhadap agamawan saat ini bukan pada sibuknya memproduksi kehebohan dan sejuta kontroversi. Masyarakat butuh potret agama yang hening dan sejuk, bukan agama yang selalu mengundang gemuruh perdebatan tak berkesudahan.
Masalah praktik ibadah mahdhah (naqli) biarlah menjadi domain para ahli fiqih yang memiliki kapasitas di bidang itu. Lagipula, mencampur aduk laki-laki dan perempuan dalam jamaah shalat atau menjadikan perempuan sebagai khatib Jumat, bukanlah sebuah cerminan emansipasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: