Mengenal Boreh, Kosmetik Putri Keraton Cirebon yang Dipakai untuk Mengecilkan Perut

Mengenal Boreh, Kosmetik Putri Keraton Cirebon yang Dipakai untuk Mengecilkan Perut

Boreh menjadi kosmetik putri Keraton Cirebon yang biasa digunakan setelah melahirkan. Foto hanya ilustrasi.-Istimewat via Get Lost-radarcirebon.com

CIREBON, RADARCIREBON.COM - Keraton CIREBON tidak hanya dikenal dengan adat dan tradisi, tetapi memiliki warisan budaya seperti kosmetik hingga pengobatan tradisional.

Salah satunya adalah lulur, boreh atau parem yang biasa dibuat menjelang Maulid Nabi Muhammad SAW atau Tradisi Muludan Cirebon.

Boreh ini dibuat dari bahan-bahan alami, campuran dari hasil tumbukan 4 jenis kayu dan rempah-rempah.

Menariknya, boreh ini ternyata biasa digunakan oleh putri keraton setelah melahirkan. Tujuannya yakni untuk membantu proses percepatan pemulihan.

BACA JUGA:Di Indonesia, Harta Karun Ini Berlimpah dan Sudah Siap Dikelola

Sementara dalam tradisi muludan, boreh atau parem ini menjadi salah satu item yang harus ada saat tradisi panjang jimat.

Dalam arak-arakan Pelal Ageng Panjang Jimat yang menyajikan simbol-simbol kelahiran seorang manusia ke dunia, boreh menjadi salah satu unsur penting.

Abdi Dalem Keraton Kasepuhan, Satu mengatakan, di zaman dulu, boreh menjadi ramuan wajib bagi perempuan keraton untuk mengecilkan perut atau sekadar merilekskan kondisi tubuh setelah selesai melahirkan. 

Boreh atau lulur sendiri merupakan salah satu komponen yang selalu ada setiap kali digelarnya upacara adat Panjang Jimat.

BACA JUGA:Pernah Ditolak Ajukan Slot Internasional, Kali Ini Super Air Jet Bakal Kuasai Rute Domestik Bandara Kertajati

Adanya boreh pada tradisi Panjang Jimat sebagai peringatan atas kelahiran Nabi Muhammad SAW, kata Satu, menjadi simbol penghormatan atas perjuangan para ibu yang melahirkan.

“Karena pada zaman dulu, putri-­putri keraton selalu menggunakan boreh setelah mereka melahirkan dengan tujuan agar cepat pulih dan mengembalikan kondisi badan,” ungkap Satu. 

Tradisi membuat boreh atau lulur sendiri merupakan tradisi yang sudah lama ada di keraton. Dan, tradisi ini menjadi bagian tak terpisahkan dalam upacara adat Panjang Jimat. 

“Entah dari zamannya Kanjeng Sunan Gunung Jati sudah ada, atau dari zamannya sultan-­sultan, tapi yang pasti tradisi ini sudah lama sekali. Mungkin bersamaan dengan adanya tradisi muludan,” ungkap pria yang mengaku sudah menjadi Abdi Dalem sejak 1988 tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: