Zonasi Bukan Dihapus, Tapi Dievaluasi Sesuai Proporsi

Zonasi Bukan Dihapus, Tapi Dievaluasi Sesuai Proporsi

SOAL ZONASI PPDB: Dr Taufik Ridwan MHum menilai zonasi tetap dibutuhkan, tetapi harus diterapkan secara proporsional.-ADE GUSTIANA-radarcirebon.com

CIREBON, RADARCIREBON.COM - Praktisi pendidikan asal Cirebon, Dr Taufik Ridwan MHum, angkat bicara mengenai wacana pemerintah yang berencana menghapus sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).

Ia mengatakan, zonasi tetap dibutuhkan, tetapi harus diterapkan secara proporsional.
Presiden Komisaris Syntax Corporation Indonesia itu menjelaskan bahwa untuk menciptakan masa depan anak-anak Indonesia, mereka harus diberikan pendidikan yang berorientasi pada masa depan, dengan dasar karakter yang kuat.

Ilmu yang dimaksud adalah bidang-bidang seperti Internet of Things (IoT), coding, big data, digital marketing, dan lainnya.

Menurut pria berusia 42 tahun ini, hal-hal tersebut harus masuk dalam muatan kurikulum.
"Tujuan zonasi adalah kesetaraan. Karena kesetaraan, maka kompetisi tidak terjadi. Karena hanya setara, yang diutamakan adalah mereka yang dekat dengan sekolah," kata pria yang meraih gelar doktor di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) tersebut kepada Radar Cirebon, Senin (2/12).

BACA JUGA:Karang Taruna Kecamatan Pabedilan dan Ciledug Minta Rekrutmen Tenaga Kerja Libatkan Warga Lokal

Dengan sistem zonasi yang tidak proporsional, kata Taufik, hal ini bisa menimbulkan rawan kecurangan.
Salah satu yang sering terjadi adalah pemalsuan data pada kartu keluarga, di mana calon siswa "nebeng" kartu keluarga orang lain yang dekat dengan sekolah yang dituju.

Oleh karena itu, zonasi yang proporsional menjadi alternatif yang lebih baik.
Maksudnya, proporsi zonasi dalam PPDB cukup 40 persen, kemudian 40 persen untuk jalur prestasi, afirmasi, dan perpindahan tugas orang tua, serta 20 persen sisanya untuk siswa dari keluarga ekonomi tidak mampu.
Artinya, sistem zonasi tidak akan dihilangkan sepenuhnya.

Jika zonasi benar-benar dihapus, kata alumnus Universitas Indonesia (UI) tersebut, yang akan lolos sebagai peserta didik adalah anak-anak dari orang tua dengan status sosial yang lebih tinggi atau mereka yang berasal dari keluarga terpandang.

"Pembelaan orang terhadap zonasi adalah karena siswa-siswa yang tinggal di sekitar sekolah juga berhak menikmati fasilitas sekolah tersebut. Masak mereka tidak bisa bersekolah di situ?" jelas Taufik.

BACA JUGA:Dihadapan Para Menteri, Presiden Prabowo Berharap Indonesia Tak Impor Beras Tahun 2025

Tanpa zonasi yang proporsional, lanjut Taufik, masyarakat Indonesia akan merasa bahwa pendidikan berkualitas hanya untuk kalangan elit.

"Zonasi proporsional adalah zonasi yang sesuai dengan proporsi dan keadaan masing-masing individu," tukasnya.
Untuk meminimalisasi kecurangan dalam sistem zonasi, Taufik yang juga aktif mengajar di universitas tersebut menyarankan pemerintah daerah untuk membentuk sistem data terpadu.

Data terpadu ini, yang disebut sebagai "one data", harus bisa diakses secara umum oleh masyarakat melalui internet.

Data tersebut mencakup informasi seperti koordinat sekolah, domisili calon siswa, dan data pendukung lainnya.
"Itu yang harus dibangun menggunakan big data. Big data terpadu inilah yang menjadi dasar kebijakan. Bukan sebaliknya, zonasinya diubah, tetapi datanya tidak. Jadi, kecurangan (pemalsuan domisili) tetap bisa terjadi," terang Taufik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: