Rupiah Makin Tertekan
Level Terendah sejak Era Krisis Moneter 1998, BI Anggap Masih Wajar JAKARTA- Depresiasi tajam nilai tukar rupiah dalam beberapa hari terakhir membuat panas dingin pelaku pasar. Butuh upaya ekstra untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Kepala Ekonom Bank Negara Indonesia (BNI) Ryan Kiryanto mengatakan Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter dan pemerintah atau Kementerian Keuangan selaku otoritas fiskal harus bahu membahu menjaga rupiah. “Kalau mau rupiah stabil, kuncinya adalah pelonggaran moneter dan fiskal,” ujarnya saat dihubungi kemarin (8/6). Menurut Ryan, dampak depresiasi tajam rupiah tidak bisa dianggap sepele. Dia menyebut, depresiasi rupiah saling kait mengait dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi, kucuran kredit perbankan yang makin seret, hingga ekspansi sektor riil yang terhambat. “Saat ini, semua indikator makroekonomi dan perbankan memburuk,” katanya. Tanpa bermaksud menakut-nakuti, Ryan menyebut jika kondisi seperti ini terus berlanjut, maka bisa menggerus kepercayaan pasar maupun masyarakat terhadap rupiah. Akibatnya, dolar makin diburu sehingga memicu berlanjutnya siklus pelemahan rupiah. Karena itu, pemerintah harus tampil di garda terdepan untuk menggairahkan kembali perekonomian. Bagaimana caranya? Percepat pembangunan infrastruktur agar makin banyak perputaran uang sehingga roda ekonomi bergerak. Kementerian/Lembaga juga harus berupaya keras agar penyerapan anggaran bisa dilakukan dengan lancar, tidak menumpuk di akhir tahun seperti selama ini. “Jangan sampai proyek-proyek itu mandeg atau terlambat,” ucapnya. Kemarin, depresiasi rupiah memang mulai memantik kekhawatiran. Data Jakarta Interbank Spot Dollar Offered Rate (Jisdor) yang dirilis BI kemarin menunjukkan rupiah ditutup di level 13.360 per dolar AS (USD). Ini merupakan level terendah sejak era krisis moneter 1998. Sementara itu di pasar spot, rupiah melemah lebih tajam. Data Bloomberg menunjukkan, rupiah kemarin ditutup di level 13.385 per USD, melemah 95 poin atau 0,71 persen dibanding penutupan Jumat pekan lalu. Sepanjang perdagangan kemarin, mayoritas mata uang di kawasan Asia Pasifik memang terdepresiasi terhadap USD. Dari 13 mata uang, 10 melemah dan hanya tiga yang mampu menguat terhadap USD, yakni yen Jepang, dolar Hongkong, dan baht Thailand. Pelemahan rupiah yang sebesar 0,71 persen, rupanya tidak separah mata uang negara lain.Misalnya, ringgit Malaysia yang terjerembab hingga 1,42 persen, lalu won Korea Selatan 1,09 persen, peso Filipina 0,78 persen, dan dolar Taiwan 0,77 persen. Meski terdepresiasi tajam, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengatakan pelemahan rupiah pada bulan ini masih dalam batas wajar. Dia menguraikan, setiap bulan Juni, permintaan akan dollar AS cenderung meningkat. Karena, ada pembayaran utang, pembagian dividen dan repatriasi aset. “Secara umum, perekonomian Indonesia masih relevan dengan kondisi kita. Tapi di bulan Juni ini, secara musiman memang cukup banyak kewajiban yang harus dibayar,” paparnya di Gedung DPR RI, kemarin. Selain itu, lanjut Agus, depresiasi terhadap nilai rupiah tersebut juga dipengaruhi kondisi inflasi Mei yang sebesar 0,5 persen. Sentimen negatif terhadap pertumbuhan ekonomi triwulan pertama yang meleset dari target pemerintah, yakni hanya 4,7 persen juga menyumbang pelemahan terhadap rupiah. Sementara dari faktor global, alotnya negoisasi IMF dan Yunani dan rencana the Fed untuk menaikkan suku bunga, ikut menjadi tekanan bagi rupiah. “Secara umum nilai tukar masih terjaga. Kalau kita lihat, mata uang Korea, Malaysia, semua lebih dalam dari kita tekanannya. Ini semua reaksi dari perkembangan risk on-risk off di luar negeri. Jadi saya melihat bahwa kita memang harus menghadapi ini dengan baik dan waspada,” urainya. Sementara Menkeu Bambang Brodjonegoro menilai pelemahan rupiah tersebut disebabkan penguatan dolar AS atau yang disebut super dolar. Dia menekankan, kondisi depresiasi tersebut dialami sebagian besar mata uang di negara-negara lain. “Malaysia Ringgit itu 1,1 persen (pelemahan terhadap dollar), Won Korsel itu 1,07 persen, lalu Filipina Peso 0,7 persen,” papar Bambang di Gedung DPR. Meski begitu, Bambang menekankan bahwa pelemahan terhadap rupiah tersebut tidak sampai membuat defisit melebar, melebihi toleransi. Dia memastikan batas pelebaran defisit tetap pada 2,2 sampai 2,3 persen. “Ini semua nggak ada hubungannya sama APBN. Karena kami tegaskan defisit APBN itu nggak ada masalah,” tegas Bambang. Menyoal strategi menjaga nilai tukar rupiah, mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) itu menguraikan bahwa yang terpenting pemerintah harus menjaga fundamental ekonomi. “Kita jaga fundamentalnya, dari Current Account Defisit (Defisit Transaksi Berjalan) dan budget defisit,” katanya. Tekanan juga terjadi pada pasar saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). Indeks harga saham gabungan (IHSG) kemarin ditutup turun 85,580 poin (1,678 persen) ke level 5.014,992 dan secara kumulatif sejak awal tahun sampai dengan kemarin turun 4,06 persen. Investor asing melakukan penjualan bersih sebesar Rp286,5 miliar kemarin meskipun secara kumulatif masih mencatatkan pembelian bersih sebesar Rp6,217 triliun. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nurhaida mengatakan kondisi terjadi di pasar modal terutama pasar saham belakangan ini sedang kurang kondusif. “Ada pemantauan lebih serius. Kita pantau terus,” ucapnya. Meski begitu, pihaknya merasa belum perlu melakukan tindakan khusus terutama terkait ketentuan dalam crisis management protocol (CMP). “Belum harus dilakukan relaksasi terhadap aturan tertentu. Salah satu indikator dilakukan relaksasi seperti penanganan krisis itu kan jika dalam tiga hari beruntun IHSG turun sampai 10 persen,” kata dia. Namun turun 10 persen dalam tiga hari pun tidak serta merta dilakukan tindakan khusus. Akan dilihat kondisi yang terjadi baik di lingkungan dalam negeri maupun global. “Kalau kita lihat sekarang penyebabnya kan memang ada dari domestik dan global. Di pasar global, hampir semua negara memang kondisinya turun. Faktor rupiah juga melemah,” ulasnya. Dalam kondisi yang memang membuat OJK harus melakukan relaksasi, salah satunya OJK akan mengizinkan para perusahaan tercatat (emiten) melakukan pembelian saham (buyback) dengan mengenyampingkan ketentuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). OJK memang pernah melakukan relaksasi aturan pasar modal yakni dengan menerbitkan Peraturan OJK Nomor 02/POJK.04/2013 tentang Pembelian Kembali Saham Yang Dikeluarkan oleh Emiten atau Perusahaan Publik dalam Kondisi Pasar yang Berfluktuasi secara Signifikan pada tanggal 23 Agustus 2013 lalu. Namun OJK telah mencabut kembali peraturan itu pada 14 Mei 2014 melalui Surat Edaran (SE) OJK tentang Pencabutan SE OJK Nomor 1/SEOJK.04/2013 Tentang Kondisi Lain Sebagai Kondisi Pasar Yang Berfluktuasi Secara Signifikan Dalam Pelaksanaan Pembelian Kembali Saham Yang Dikeluarkan Oleh Emiten Atau Perusahaan Publik. Regulator juga memungkinkan melakukan relaksasi aturan lain terkait mark to market. Dengan cara itu, dimungkinkan semacam hedging bagi portofolio, misalnya, yang dimiliki Dana Pensiun (Dapen) dipatok pada angka tertentu agar tidak semakin tergerus pada saat kondisi pasar semakin mengkhawatirkan. “Tapi ya kita lihat sampai hari ini semua relaksasi itu belum perlu,” tegasnya. (owi/jpnn)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: