Demokrat Tolak Interpelasi
Beredar Kabar, Hari Ini, Dewan Galang Dukungan Tertulis KEJAKSAN - Wacana hak interpelasi oleh anggota dewan terkait konflik perbatasan, membuat Fraksi Partai Demokrat (FPD) pasang badan. Ketua Fraksi Partai Demokrat, M Handarujati Kalamullah SSos menilai, tidak perlu adanya interpelasi, meskipun hal itu menjadi hak anggota dewan. Pria yang akrab disapa Andru itu membeberkan, pada pembahasan terakhir soal perbatasan di Bappeda beberapa waktu lalu, yang diundang hanya pimpinan DPRD dan ketua komisi. Namun, dari tiga komisi itu, yang hadir hanya komisi A. Dan ketua komisi A menugaskan dirinya untuk hadir. “Wakil ketua dewan hadir pada pertemuan di Bappeda, dan hanya komisi A yang hadir. Sedangkan komisi B dan C tidak ada yang hadir,” ujarnya. Andru menjelaskan, walikota sebenarnya sudah menyampaikan berkaitan dewan yang ingin rapat sendiri. Bahkan rencananya walikota akan menyampaikan langsung ke dewan terkait perbatasan yang sudah menjadi keputusan Kemendagri. Kalau ada yang menganggap pemkot lemah, dirinya mempersilakan untuk menanyakan ke gubernur atau mendagri. Yang jelas, pemkot sudah melakukan upaya mempertahankan wilayah Kota Cirebon. “Interpelasi bukan barang haram, silakan saja. Walikota akan menyampaikan nanti saat coffee morning dengan DPRD,” bebernya. Rencananya, walikota akan membawa timnya yang membahas tentang perbatasan. Oleh karena itu, dirinya kurang sepakat apabila agenda coffee morning dijadikan bagian dari interpelasi. Pihaknya menegaskan, sebelum draft itu ditandatangani oleh walikota, Bupati Sunjaya sudah tanda tangan. Bahkan, kabupaten sudah memilih opsi kedua, karena masing-masing rugi semua. Andru juga menegaskan, sengketa perbatasan adalah persoalan lama. Hanya saja di kota mentok, kemudian provinsi mentok, lalu diambil alih mendagri. “Kalaupun warga tidak mau dipaksa pindah ke kabupaten, bisa saja nanti penolakan warga bergabung ke kabupaten akan menjadi pertimbangan mendagri. Kalau seperti itu, maka wilayah kota bisa lebih luas. Bukan persoalan tukar guling, tapi berkaitan dengan wilayah,\" tegasnya. Andru mengungkapkan, sebenarnya kabupaten menginginkan opsi satu yaitu kawasan Cipto masuk kota, sedangkan Pilang Setrayasa masuk kabupaten. Dan itu dibuktikan, bahwa kabupaten tanda tangan duluan memilih opsi kedua. “Secara kelembagaan sudah diambil kemendagri. Malah pendopo juga sempat diminta kota. Kita akan berjuang ke mendagri agar keinginan warga Setrayasa dan Taman Wahidin tetap masuk wilayah Kota Cirebon,” ujarnya. Alumnus Unswagati ini justru mempertanyakan kinerja Priatmo Adji cs saat menjabat anggota dewan. Mestinya dulu dituntaskan oleh mereka, bukan malah sekarang diputuskan justru anggota dewan terdahulu teriak memprotes walikota. Terpisah, Kabag Tata Pemerintahan Setda Kota Cirebon, Agus Sukmanjaya mengatakan, batas wilayah Kota/Kabupaten Cirebon tidak mesti diperdebatkan lagi. Sebab, penyelesaian konsep batas wilayah berada di tangan kemendagri. Artinya, tidak ada bahasa tukar guling aset antara Kompleks Pilang Setrayasa, Kelurahan Sukapura dengan kawasan Cipto MK. Dia mengatakan, perdebatan batas wilayah Kota/Kabupaten Cirebon bergulir sejak tahun 1991. Namun, tidak bisa diselesaikan di tingkat daerah. Dua wilayah itu terus deadlock memperebutkan batas wilayah. Karena tak kunjung selesai, masalah ini kemudian diambil alih gubernur tahun 2006 dan disepakati 18 titik wilayah perbatasan. Selang beberapa tahun kemudian tepat di tahun 2015, wilayah perbatasan tinggal 7 titik dan yang menyisakan 2 titik lagi, yakni Pilang Setrayasa dan wilayah Cipto. “Tidak tuntas di tataran gubernur dua titik tersebut. Masalah perbatasan diserahkan ke kemendagri. Dari kemendagri memunculkan draf dengan dua opsi, belakang CSB masuk wilayah kabupaten dan Setrayasa masuk Kota Cirebon atau sebaliknya. Nah opsi yang diambil itu adalah, opsi yang kedua,” jelasnya. Artinya, kata mantan Kabag Humas Setda Kota Cirebon itu, kewenangan sepenuhnya ada di kemendagri. Jadi porsinya bukan ditingkat Pemerintah Kota/Kabupaten. “Jadi tidak mesti diketahui DPRD,” katanya. Dia mengatakan, keputusan itu belum berlaku. Sebab, belum ada keputusan resmi dari kemendagri. Artinya, saat ini mereka masih menjadi warga Kota Cirebon. Selain itu, proses pelepasan aset itu juga memakan waktu yang cukup lama. “Warga yang masih ingin tetap masuk wilayah Kota Cirebon, silakan mengusulkan ke kemendagri menolak masuk wilayah kabupaten. Semua keputusan itu kan ada di kemendagri. Tapi, setahu saya surat penolakan warga masuk wilayah kabupaten sudah ada di gubernur. Namun, saya tidak tahu apakah sudah ditindaklanjuti atau belum,” ungkapnya. Disinggung mengenai acuan tersebut harus kembali lagi pada peta Belanda, Agus kembali menegaskan, porsinya sekarang sudah di kemendagri. Bukan acuan peta Belanda lagi. Pasalnya, semua dokumen yang dimiliki Kabupaten/Kota Cirebon sudah dibahas oleh tim penegasan batas daerah dari provinsi dan pusat. Dukungan Tertulis Hak Interpelasi Sementara, Anggota Fraksi PDIP, Imam Yahya S.Fil.I menganggap interpelasi tidak tabu. Perihal konflik perbatasan, pihaknya memilih ikut keinginan warga. Jika perlu perluasan wilayah kota, maka Fraksi PDIP akan mendukungnya. Imam berharap, mendagri bisa membuat standarisasi wilayah kota, karena itu menjadi acuan mendasar untuk menentukan batas wilayah kota. Karena selama ini, tidak pernah ada standarisasi luas wilayah. Anggota Fraksi Hanura, Jafarudin juga setuju langkah anggota dewan lainnya untuk menggunakan hak interpelasi terhadap walikota. “Kita ingin menggunakan hak kita sebagai wakil rakyat yakni hak interpelasi,” terang Jafarudin. Informasi yang berkembang, Jumat hari ini (15/1) anggota dewan menggalang dukungan hak interpelasi secara tertulis. Sumber Radar di dewan menegaskan, dukungan secara tertulis untuk mendorong hak interpelasi kepada walikota sudah disiapkan. “Besok (hari ini, red) dukungan tertulis akan dimulai. Doakan semoga semuanya berjalan lancar,” kata sumber Radar di Griya Sawala. (abd/sam)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: