Perpecahan demi Monumen sang Ayah
MENGAPA perpecahan keluarga Lee Kuan Yew terjadi sekarang? Bukan tahun lalu? Bukan tahun depan? Saya tahu: karena sekarang ini sudah mendekati tanggal 3 Juli 2017. Akan ada apa tanggal 3 Juli depan? Rupanya, menurut rencana, akan ada keputusan komite kabinet Perdana Menteri Lee Hsien Loong menyangkut rumah di Jalan Oxley Nomor 38. Itulah rumah yang jadi sumber perpecahan. Rumah itu ditempati Bapak Pendiri dan Bapak Pembangunan Singapura Lee Kuan Yew. Selama 70 tahun. Di rumah itu Lee Kuan Yew muda (umur 22 tahun) memulai hidup. Di rumah itu dia mendirikan Partai Aksi Rakyat (People’s Action Party/PAP). Yang menang pemilu terus-menerus. Sejak zaman kemerdekaan sampai sekarang. Di rumah itu Lee Kuan Yew tinggal selama jadi perdana menteri. Selama jadi menteri senior. Selama jadi menteri mentor. Selama di pusat kekuasaan. Selama 50 tahun. Di rumah itu Lee Kuan Yew menjadi bapak untuk tiga anaknya: Lee Hsien Loong, Lee Wei Ling, dan Lee Hsien Yang. Di rumah itu pula mayat Lee Kuan Yew diupacarakan untuk diberangkatkan. Bukan ke makam, tapi ke krematorium. Yang abunya ditabur ke laut. Apakah rancangan keputusan komite kabinet yang akan diambil tanggal 3 Juli depan? Entahlah. Saya tidak tahu. Tapi, dua adik PM Lee Hsien Loong rupanya sudah dapat bocoran. Atau dugaan. Komite kabinet akan memutuskan untuk menolak rencana pembongkaran rumah di Jalan Oxley 38 itu. Komite akan memutuskan untuk menjadikannya rumah sejarah. Saya tidak tahu apakah bocoran atau dugaan dua adik Lee Hsien Loong itu benar. Rakyat Singapura juga tidak tahu. Bahkan, rakyat Singapura awalnya tidak tahu kalau ada komite seperti itu. Ini memang komite rahasia, tuduh sang dua adik. Rakyat Singapura baru tahu adanya komite itu setelah perpecahan ini menjadi konsumsi publik. Padahal, komite itu ternyata sudah resmi dibentuk pemerintah bulan Juli tahun lalu. Mereka terlambat tahu. Itulah rupanya yang membuat dua adik Lee Hsien Loong menilai kakak sulungnya mempunyai rencana rahasia. Mempunyai maksud tertentu. Dan itu, tuduh mereka, berpotensi menyalahgunakan kekuasaan. Mengapa dua adik Lee Hsien Loong keberatan dengan rencana keputusan komite untuk menjadikan rumah bersejarah itu sebagai monumen sejarah? Mengapa keduanya begitu marahnya sampai membuka soal perpecahan keluarga terhormat ini ke ranah publik? Mengapa begitu marahnya sampai memutuskan untuk meninggalkan Singapura dan memilih akan hidup di negara lain? Sebenarnya dua adik Lee Hsien Loong itu keberatan kalau disebut sebagai pihak pertama yang melempar perpecahan keluarga ini ke publik. Memang keduanyalah yang lebih dulu mem-posting di Facebook mereka: mau hengkang dari negeri sendiri. Posting-an yang membuat publik gegap gempita. Tapi, yang sebenarnya lebih dulu membawa persoalan ini ke publik adalah pemerintah. Yakni dengan dibentuknya komite kabinet Juli tahun lalu. Ini kalau ranah pemerintah adalah ranah publik. Kedua adik Lee Hsien Loong menduga komite itu akan memutuskan: rumah no 38 itu jangan dibongkar. Harus untuk monumen sejarah Singapura. Padahal, sesuai dengan wasiat mendiang bapak mereka, rumah itu harus dibongkar. Wasiat yang ditulis tahun 2011 itu memang berubah tujuh kali. Di wasiat pertama tegas disebutkan, rumah itu harus dibongkar. Tapi, di perubahan berikutnya pasal itu dicabut. Sedangkan di perubahan ketujuh, atau disebut sebagai wasiat terakhir, tahun 2013, keharusan pembongkaran itu dimasukkan lagi. Komite kabinet mencurigai adik ipar Lee Hsien Loong. Dialah yang mendalangi masuknya kembali pasal pembongkaran itu. Dialah yang memengaruhi bapak mereka. Yang saat itu sudah berumur 89 tahun. Lepas siapa yang benar, pada dasarnya mendiang Lee Kuan Yew tidak hanya bicara soal pembongkaran itu di surat wasiatnya. Semasa jayanya, beberapa kali Lee Kuan Yew memberikan wawancara terbuka. Disiarkan secara luas. Terekam abadi. Tegas sekali. Rumah itu harus dibongkar. Lengkap dengan alasannya. Khas Lee Kuan Yew: rasional dan pragmatis. Rumah itu sudah tua. Dibangun di akhir tahun 1890-an. Tanpa fondasi. Untuk merenovasinya mahal sekali. Mengganggu tetangga yang mau maju. Misal: tetangga yang mau membangun gedung bertingkat menjadi sulit. Tiang pancangnya bisa membuat rumah no 38 roboh. Akhirnya nilai properti tetangga-tetangganya tidak bisa meningkat. Yang seperti itu merugikan orang lain. Begitulah sikap pragmatis Lee Kuan Yew. Begitu pula soal mayatnya. Dia tidak mau diabadikan seperti Mao Zedong. Bahkan tidak mau ada kuburan. Dia minta dikremasi. Abunya dibuang ke laut. Beres. Seperti tokoh pembangunan Tiongkok Deng Xiaoping. Di samping alasan praktis-pragmatis, ternyata ada juga alasan filosofinya. Ini saya ketahui dari pidato pelepasan jenazah Lee Kuan Yew tahun 2015 lalu. Yang berpidato adalah Lee Shengwu, 29 tahun saat itu. Anak sulung Lee Hsien Yang. Cucu Lee Kuan Yew. Ponakan Lee Hsien Loong, perdana menteri Singapura saat ini. Sepupu Lee Hongyi bin Lee Hsien Loong (27 tahun saat itu). Dalam pidatonya itulah Lee Shengwu menceritakan salah satu pengalamannya. Saat ikut makan siang bersama kakeknya. Lee Kuan Yew memang selalu mengajak semua anak, menantu, dan cucu makan siang bersama. Seminggu sekali. Di hari Minggu. Di rumahnya di Jalan Oxley 38 itu. Di salah satu makan siang itulah Lee Kuan Yew, menurut Lee Shengwu, bercerita. Tentang tragisnya akhir kejayaan Mesir kuno. Kejayaan itu hanya terlihat dalam bentuk peninggalan monumen. Mesirnya sendiri runtuh. Sampai sekarang. Mesir tetap menjadi negara miskin. Kakeknya, menurut Lee Shengwu, tidak menghendaki monumen seperti itu. Monumen terbaik, katanya mengutip kakeknya, adalah monumen hidup: kenyataan hidup makmur yang dirasakan rakyat dan negara. Monumen berupa Singapura yang maju, modern, berorientasi ke depan, dan selalu mengejar zaman. Itulah monumen yang sebenarnya. Tidak ada gunanya, katanya, berdiri monumen megah, tapi negaranya miskin. Lee Kuan Yew konsisten dengan itu. Singapura maju, modern, makmur, dan terus berubah mengikuti zaman. Sedangkan rumah no 38 tetap seperti itu. Tidak pernah berubah. Sangat jelek. Dibanding tetangga-tetangganya. Apalagi dibanding pusat kotanya. Perabotnya pun masih meja kursi yang sama. Dan ... kata Lee Shengwu, setiap Minggu makan siang adalah makanan yang juga masih sama. Para pengkritik Lee Kuan Yew, para pembela demokrasi, punya alasan tambahan. Tentu subjektif. Setengah humor. Mungkin Lee Kuan Yew tidak mau, di masa depan, monumennya bernasib seperti monumen diktator lainnya: Stalin atau Saddam Hussein atau .... Kesimpulannya: Lee Hsien Loong benar kalau dia menginginkan ada monumen yang begitu bersejarah. Dua adiknya juga benar kalau ingin memenuhi keinginan ayahnya agar tidak perlu ada monumen seperti itu. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: