Padahal sebenarnya, bahasa Sunda yang dipakai oleh Orang Banten lebih dekat dengan bahasa Sunda yang dipakai oleh leluhur orang Sunda. Artinya mereka tidak kasar, mereka hanya lebih egaliter secara sosial dan bahasa, seperti leluhur orang Sunda.
Namun saat ini, orang Priangan pun terbiasa memakai basa loma untuk percakapan sehari-hari. Terkadang dalam situasi formal juga.
Sementara bahasa lemes diperuntukkan untuk situasi formal atau sopan. “Untuk masalah sastra dan kepenulisan, menurut pengamatan saya bahasa loma lebih banyak digunakan,” pungkas Muhammad Zakaria.
BACA JUGA:Wapres Kunjungi Ponpes Kempek, Hadiri Haul KH Aqil Siroj
Priangan, menurut Jan Breman dalam bukunya, lebih tepat untuk menyebut wilayah berbukit atau pegunungan di Jawa Barat. Seperti judul buku yang ia tulis: “Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Siatem Peringan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa, 1720-1870”.
Sejak melunturnya kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran di Jawa Barat, terjadi kekosongan di wilayah Priangan. Sejak berkembangnya Islam, Cirebon muncul sebagai Kesultanan yang berupaya mengakuisisi Priangan.
"Begitupun dengan Mataram yang telah memeluk ajaran Islam, berinisiatif untuk mengisi kekosongan kekuasaan di wilayah Priangan," tulis Jan Breman.
Politik Ekspansi yang dilancarkan Sultan Agung, berhasil membujuk penguasa Periangan untuk dapat bergabung di bawah panji Susuhunan Mataram.
BACA JUGA:Kapolsek Bersama Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan Bantu Menangani ODMK
Supremasi politik Mataram telah memudahkan proses "jawanisasi," utamanya di kawasan Timur Priangan. Proses itu juga dikuatkan dengan perintah Mataram kepada para petani untuk menanam secara liar di kawasan Priangan untuk menandai batas-batas wilayah Mataram atas tanah Sunda.
Selain itu, penanaman liar para petani membawa maksud untuk dapat membendung pengaruh Kerajaan Banten yang mulai masuk ke wilayah Priangan. Melalui pesatnya perkebunan dan pertanian Mataram, wilayah-wilayah Priangan dengan cepat terisi pengaruh Mataram.
"Mataram telah berhasil mendominasi areal perkebunan dan lahan pertanian di Jawa Tengah dengan baik sehingga mereka akan lebih mudah melakukannya di wilayah kekuasaan barunya," jelasnya.
Sebelum masuknya pengaruh dari Jawa Tengah, wilayah Timur Priangan masih sangat terjaga budaya sundanya. Hanya saja mereka tak memiliki legitimasi kekuasaan di sana, sehingga dengan mudah Mataram dapat mengisi wilayah-wilayah itu dan melangsungkan "jawanisasi"-nya.
BACA JUGA:Hebatnya Alumni Smansa Cirebon, Kumpulkan Alumni Mulai Tahun 1953-2023
Bagaimanapun, Cirebon juga tak dapat berbuat apa-apa. Mereka kalah banyak langkah dengan Mataram yang getol melangsungkan hubungan politik perkawinan dengan penguasa lokal di Timur Priangan.
"Mobilitas dan agresifitas perkawinan tingkat tinggi Mataram membuat Cirebon tak dapat menguasai kawasan Timur Priangan, terlebih mereka kalah duluan soal hubungan perkawinan," ungkap Breman.