Dirjen Ahmad Mahendra: Pentingnya Ekosistem Mata Air

Dirjen Ahmad Mahendra: Pentingnya Ekosistem Mata Air

Direktur Jendral Pengembangan Pemanfaatan dan Pembinaan Kebudayaan Kementerian Kebudayaan RI, Ahmad Mahendra MTr AP.-Istimewa -

RADARCIREBON.COM - Dalam beberapa dekade terakhir, keseimbangan antara hubungan manusia dengan air terus mengalami degradasi yang menyebabkan kerusakan ekosistem mata air, kalau tidak bertindak segera, ini akan mengancam kehidupan manusia.

Kementerian kebudayaan memegang peranan penting untuk mengembalikan kesehatan ekosistem dari mata air ini, bisa dilihat bagaimana peranan dari kebudayaan dalam menjaga sistem seperti halnya Subak di Bali dan budaya air di Jambi.

Hal tersebut disampaikan Ahmad Mahendra, MTr AP, Direktur Jendral Pengembangan Pemanfaatan dan Pembinaan Kebudayaan Kementerian Kebudayaan RI saat menjadi keynote speaker dalam Webinar “Ekosistem Mata Air: Menjaga Sumber Kehidupan Berbasis Kearifan Lokal” yang diselenggarakan atas Kerjasama Prakarsa Akar Bumi dan Kementerian Kebudayaan belum lama ini.

Menurut Mahendra, pihaknya juga tengah berupaya mengimplementasikan program desa pemajuan kebudayaan.

BACA JUGA:Bazar Murah TNI 2025, Danrem 063 SGJ: Bantu Masyarakat Penuhi Kebutuhan Sembako Jelang Idul Fitri

BACA JUGA:Jaga Ketertiban di Bulan Ramadan, Samapta Polres Cirebon Kota Razia Puluhan Botol Miras

Program ini menjadikan kearifan lokal sebagai inti kehidupan desa, memastikan praktek budaya bukan hanya sebagai tontonan saja tapi sebagai praktek hidup yang berkelanjutan.

“Karena kita lihat sendiri dinamika global yang telah mengikis nilai komunal kultural masyarakat dalam mempertahankan nilai-nilai spiritual, soal dan ekologis dalam pengelolaan sumber daya alam termasuk air ini,” jelasnya.

"Kami mengapresiasi webinar ini sebagai langkah awal menjaga sumber mata air, saya harap kedepannya Prakarsa Akar Bumi dapat mengajak dan menggerakkan masyarakat sekitar dalam upaya pelestarian ekosistem mata air, karena peran komunitas akar rumput sangat krusial dalam menjalankan sebuah gerakan yang berdampak massif,” tegas Mahendra.

Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan menggandeng banyak komunitas terkait, bersama-sama membangun ekositem mata air, sehingga betul-betul dari kebutuhan masyarakat, pemerintah bersifat sebagai pembentuk regulasi atau kebijakan dan memfasilitasi.

Landasan lain yang tidak bisa diabaikan adalah persoalan data, tidak hanya data bagaimana sumber mata air dilindungi, tetapi juga terkait komunitas-komunitas yang bergerak sehingga pihaknya dapat mengambil kebijakan-kebijakan kedepannya.

BACA JUGA:Dicurhati Ibu Bekasi Soal Biaya Study Tour, Dedi Mulyadi: Hentikan, Kerena Menyusahkan Orang Tua

BACA JUGA:Dedi Mulyadi Keluarkan Gebrakan Baru, Ajak OJK Berantas Pinjol dan Bank Gelap di Jabar

Sementara itu, praktisi budaya dan ekonomi kreatif Dadan Imanudin Latif menjelaskan dalam segi budaya, mengapa air sangat penting karena air mempunyai keunikan tersendiri dalam mengalir, atau pola siklusnya.

Menurutnya prediksi 2040, akan kesulitan air bukan airnya yang tidak ada, tapi karena sistem perputaran airnya yang mungkin terganggu karena ada kerusakan di alamnya, di aliran air bawah atau atasnya. Kearifan-kearifan lokal di Indonesia khususnya di Sunda, para leluhur sudah mempunyai keilmuan atau metode untuk mengelola itu semua.

“Hanya mungkin membutuhkan kesadaran dan komitmen kita bersama untuk mengkaji, menumbuhkan kesadaran kembali bahwa air akan hadir ketika kita merawatnya dan akan hilang ketika kita tidak peduli, apapun yang dirasakan oleh alam itu akan dirasakan oleh kita sendiri,” ungkap Dadan.

"Air dalam sisi budaya memegang peranan yang sangat penting karena air merupakan salah satu unsur penting dalam pembentukan karakter, dan perwujudan manusia dari empat unsur yang membentuk macro posmus micro posmus atau dalam istilah Sunda bumi ageung bumi alit,” lanjutnya.

BACA JUGA:Punya Nilai Jual Ekonomi Tinggi, Kota Cirebon Kembangkan Budidaya Beras Organik

BACA JUGA:Kodim Kuningan Gelar Pasukan Siap Amankan Mudik dan Tangani Bencana Alam

Dalam tatar Sunda, bahasan atau metodologi mengenai air tertuang dalam naskah-naskah kuno dan itu sudah tertuang dalam naskah Carita Parahiyangan di kropa 406 sudah tertuang nama patanjala, yang merupakan salah satu metode dalam tataruang leluhur-leluhur, bahwa pada tahun 612 atau abad ke-7 itu leluhur sudah faham dan mengerti mengenai tatakelola air atau tatakelola alam.

"Dalam tatakelola alam tersebut ada tata wilayah di Sunda itu ada namanya leuweung larangan (daerah pelestarian), leuweung tutupan (daerah perlindungan) dan leuweung baladahan (daerah pemanfaatan). Semua itu sudah dibentuk untuk keberlangsungan kehidupan,” tegas Dadan.

Webinar ini merupakan Kerjasama Prakarsa Akar Bumi dengan Kementerian Kebudayaan RI menghadirkan beberapa narasumber diantaranya, Prof Dr Ir Dadan Umar Daihani DEA Tenaga Profesional Bidang Sumber Kekayaan Alam, Lemhanas RI dan guru besar USAKTI, Dr AA Ade Kadarisman Akademisi Universitas Teknologi Bandung sekaligus Pembina Prakarsa Akar Bumi dan Ketua Gerakan Nasional Literasi Mata Air Indonesia, Fainta Negoro Chief Impact & Sustainability Officer at Jejakin dan Founder Jagasemesta dan Dadan Imanudin Latif Founder Saung Kopi Hawwu Kabupaten Kuningan, Jawa barat, sekaligus sebagai praktisi budaya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: reportase