TERNYATA di Al Zaytun Dikembangkan Tari ‘Korban Penjajahan’, Apa Maksudnya?

TERNYATA di Al Zaytun Dikembangkan Tari ‘Korban Penjajahan’, Apa Maksudnya?

Kegiatan seni dan tari di Mahad Al Zaytun.-Mahad Al Zaytun-Radarcirebon.com

INDRAMAYU, RADARCIREBON.COM - Menari di Pondok Al Zaytun ternyata justru dianjurkan. Bukan hanya bagi para santri perempuan, santri laki-laki pun diimbau untuk mengukuti kegiatan ekstrakurikuler seni tari.

Pemahaman tentang seni, termasuk seni tari di dalamnya, terus didengungkan oleh pondok yang berlokasi di Mekarjaya, Gantar Indramayu ini. 

Mereka terus menyadarkan agar warga pondok itu bisa mencintai seni. Apalagi seni tradisional yang patut dilestarikan.

Pemahaman dan ajakan agar terus berkesenian juga sering disampaikan Syekh Al Zaytun Panji Gumilang.

BACA JUGA:Pengacara Harry Gultom Bantah Ayah dan Anak di Cirebon Rudapaksa Karyawan Toko: 'Suka Sama Suka'

"Jangan pernah ngeres terhadap seni. Karena seni itu menghaluskan budi pekerti,” pesan Panji Gumilang.

Banyak tari yang dikembangkan di pondok tersebut. Salah satunya adalah tari dari Provinsi Jawa Timur. Namanya tari Glipang.

Soal tari ini seperti yang ditulis aktivis civitas Al Zaytun Latief WeHa melalui media sosial Facebook. Latief memang sangat aktif mengunggah banyak konten soal pondok yang dipimpin oleh Syekh Panji Gumilang ini.

Ini merupakan tarian tradisional khas Probolinggo, Jawa Timur. Tarian ini menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat saat masa penjajahan.

BACA JUGA:Disebut Malaikat, Remaja Indonesia Raih Golden Buzzer di America's Got Talent

Tari Glipang memiliki gerakan yang memadukan beberapa tari seperti gerakan pada tarian Topeng Ghetak Madura, Rudhat, Seni Hadrah, samman dan pencak silat. 

Tari ini merupakan tarian tunggal yang ditarikan oleh penari laki-laki. Tari Glipang dapat ditarikan secara berkelompok, namun dari segi gerak yang dilakukan tetap sama.

Menurut beberapa sumber, Tari Glipang diciptakan oleh seorang pemuda asal Madura. Pemuda itu bernama Seno Truno yang datang dan tinggal di Desa Pendil, Kabupaten Probolinggo.

Seno Truno sebelumnya bekerja sebagai mandor di sebuah pabrik gula milik Kolonial Belanda di Probolinggo. Namun, karena ia diperlakukan sewenang-wenang oleh Kolonial Belanda, Seno memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: