Pecandu Judol Depresi Ditangani RSD Gunung Jati Cirebon, Laki-laki Usia Produktif Bukan Pengangguran
Psikolog Unit Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) RSD Gunung Jati Cirebon Srini Piyanti SPsi.-Ade Gustiana-Radarcirebon.com
“Artinya, alasan utama (judol) lebih ke arah sensasi dan kepuasan instan. Tidak mau berproses. Salah satu dorongannya impulsif," jelasnya.
Menurut dia, perilaku impulsif seseorang karena dorongan yang dibentuk sejak kecil. Oleh karena itu saat dewasa menjadi tidak terkenali.
Sedangkan pelaku judol yang nekat bertindak kriminal, menurut Yanti, itu disebabkan oleh adiksi.
Adiksi diartikan sebagai keadaan ketika seseorang tidak memiliki kendali untuk berhenti melakukan, mengambil, atau menggunakan sesuatu bahkan ketika hal itu sudah membahayakan diri sendiri.
“Kalau orang sudah nagih, logika tidak jalan. Yang ada, bagaimana pemenuhan kepuasan dengan segera," ungkap Yanti.
Menurut Yanti, dirinya mengamati perilaku par pecandu judol beberapa waktu terakhir. Menurut dia, mayoritasnya adalah laki-laki pada usia produktif dan sudah punya penghasilan tetap.
“Mayoritas (korban judol, red) laki-laki, usia-usia produktif. Dan dia punya penghasilan, bukan penganggur. Ya walaupun ada juga yang pengangguran," ujarnya.
Pasien depresi akibat judol yang ditangani selama tahun 2024 ada 2 orang. Menurut Yanti, pasien didiagnosa mengalami depresi namun pada awalnya tidak terbuka terlibat judi online.
“Karena aslinya, orang seperti itu (pelaku judol, red) nggak mau terima kenyataan. Buat dia konflik itu menyakitkan," terang Yanti.
Di samping laki-laki di usia produkti, demam judol juga terjadi di kalangan pelajar. Oleh karena itu, dia menyarankan para orang tua dan pihak sekolah untuk waspada.
“Di pedesaan pun, saya coba menanyakan pada guru-guru yang memang mengajar di desa, ada juga yang sudah terpapar (judol). Karena sekarang internet kan tanpa batas," ungkapnya.
Dia menjelaskan, bahwa pelaku judol cenderung tidak mau berterus terang. Mereka sulit berkata jujur dan mengakui terjerat judol.
Bahkan, mereka akan menutupi perilakunya itu dari lingkungan terdekat.
“Artinya, di situlah konfliknya. Satu sisi dia tahu bahwa lingkungan itu tidak menyukai perilaku itu. Sisi yang lain, buat dia penasaran (bermain judol) tidak hilang. Jadi, adiksi judol seperti ada yang hilang kalau tidak pegang HP dan bermain judol," tutur Yanti.
Nah, terkait 2 pasien depresi akibat judol yang dia tangani, menurut Yanti, mereka rutin berkonsultasi di Poli Psikologi RSD Gunungjati.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: