Ahli Waris Datangi Kantor Bupati
Soal Sengketa Tanah di Atas Bangunan Gedung PMI SUMBER - Puluhan ahli waris keluarga Bingung Marta mendatangi Kantor Bupati Cirebon, kemarin (10/2). Mereka datang untuk bisa beraudiensi dengan Bupati Drs H Sunjaya Purwadisastra MM MSi. Namun mereka harus kecewa lantaran hanya ditemui Kabag Perlengkapan Setda Sugeng Darsono, Kabag Hukum Setda Uus Haryadi SH MH dan Kasatpol PP Kabupaten Cirebon Harry Safari Margapradja. Massa datang sekitar pukul 10.30 WIB. Mereka sempat berorasi di depan Kantor Bupati dan meminta Pemerintah Kabupaten Cirebon untuk mengembalikan hak rakyat. Ahli waris keluarga Bingung ini mengklaim tanah yang digunakan Kantor Unit Donor Darah PMI Kabupaten Cirebon merupakan miliknya. \"Jangan jadi pejabat yang menyerobot tanah rakyat,\" ujar salah seorang ahli waris dalam kesempatan itu. Sementara itu, perwakilan ahli waris, Utoyo mengatakan, pihaknya sudah cukup lama menunggu kejelasan status tanah milik keluarganya. Pasalnya, pihak keluarga memiliki bukti kepemilikan berupa letter C. Sementara pemerintah Kabupaten Cirebon tetap menggunakan lahan tersebut. \"Kami selaku ahli waris meminta, agar Bupati menunjukkan bukti kepemilikan. Sebagai pemangku kebijakan, Bupati kok seperti tidak tahu menahu. Padahal kami ini rakyat Bapak,\" ujarnya. Tidak hanya itu, ahli waris juga meminta Bupati Sunjaya untuk meminta maaf. Karena Sunjaya sempat membuat statemen, jika tanah tersebut merupakan milik warga eks PKI. Hal itu membuat para ahli waris tersinggung. \"Kita bukan komunis,\" tuturnya. Sementara itu, Kuasa Hukum Keluarga Bingung Marta, Yudia Alamsyah mengatakan, tanah PMI tersebut merupakan milik kliennya. \"Silakan tunjukkan kepemilikan pemerintah seperti apa. Jadilah Bupati yang baik dan melindungi rakyatnya. Bukan malah merampas hak rakyat,\" tuturnya. Sementara itu, Kepala Bagian Perlengkapan Sekretariat Daerah Kabupaten Cirebon, Sugeng Darsono meminta maaf lantaran Bupati Sunjaya tidak bisa menemui ahli waris. Sunjaya, kata dia, sedang ada kegiatan di luar sehingga menugaskannya untuk memberikan kejelasan terkait status tanah PMI. Sugeng menjelaskan, selama ini banyak pihak yang mengklaim tanah PMI itu. Pertama adalah Bingung Marta, kemudian Shopia, dan Tan Pek Ciong. Berbicara persoalan tanah, kata dia, hal itu bukanlah kekuasaan bupati, melainkan pemerintah daerah. \"Kalaupun memang pemerintah daerah mau menyerahkan pada pihak lain, itu harus ada dasarnya, dan salah satunya adalah putusan pengadilan. Karena kita juga tidak bisa menyerahkan aset begitu saja. Termasuk juga harus ada persetujuan DPRD,\" tuturnya. Sugeng pun menyarankan agar pihak ahli waris melakukan gugatan ke pengadilan. Sehingga nantinya akan menjadi jelas status kepemilikan tanah PMI itu. \"Kita sarankan gugat ulang saja,\" tuturnya. Apakah Pemerintah Kabupaten Cirebon memiliki bukti kepemilikan? Sugeng mengakuinya. Namun pihaknya tidak mau membeberkannya secara mendetail. \"Ada, dan pada saatnya akan kita tunjukkan,\" ujarnya. Dalam audiensi tersebut, ahli waris meminta agar pemerintah Kabupaten Cirebon juga menunjukkan pendirian bangunan PMI. Karena disinyalir bangunan tersebut berdiri tanpa izin mendirikan bangunan (IMB). Jika tidak memiliki izin, ahli waris akan merobohkan gedung tersebut dalam waktu dekat. Audiensi tersebut pun berlangsung deadlock. Ahli waris merasa kecewa karena permintaan kepada Pemerintah Kabupaten Cirebon untuk menunjukkan bukti kepemilikan tidak direalisasikan. Akhirnya, para ahli waris pun keluar dan meninggalkan Kantor Bupati. LAPOR KOMNAS HAM DAN OMBUDSMAN RI Buntunya mediasi dengan pihak Pemkab Cirebon membuat sejumlah ahli waris akhirnya bertindak ekstrem. Ahli waris yang mengklaim pemilik tanah itu menggali jalan yang menuju gedung PMI Kabupaten Cirebon Selasa (10/2) kemarin. Lebar jalan yang hanya sekitar dua meter lebih tersebut digali menggunakan sejumlah alat seadanya seperti cangkul dan linggis. Jalan utama yang menghubungkan Jl Pramuka dan Jl Tuparev tersebut digali dengan lebar sekitar 40 cm dengan kedalaman sekitar20 cm dan panjang hampir seluruh jalan dan hanya menyisakan sedikit ruang pengguna jalan kaki dan pengendara sepeda motor. Ketua LSM Baret (Barisan Rakyat Ekonomi Tertinggal) H Iwan yang mendampingi pihak ahli waris mengatakan, upaya ini adalah bentuk kekecewaan dan mulai habisnya kesabaran pihak keluarga yang sudah berpuluh-puluh tahun tidak digubris Pemkab Cirebon. “Kita sudah datangi pemkab, tapi tetap mentok . Malah aneh, ahli waris yang notabene pemilik dan tercatat di dalam persil dan Girik malah disuruh melakukan upaya hukum. Itu kan salah. Harusnya pemkab yang angkat kaki dari objek sengketa, karena tidak punya dasar untuk menempati,”ujarnya. Menurutnya, pihaknya akan mengadukan kasus ini ke Komnas HAM dan Ombudsman RI agar bupati tidak memendang sebelah mata dan terkesan menyepelakan kasusnya. “Berkali-kali kit aminta audiensi, minta ketemu, tapi tidak pernah berhasil. Lalu mediasi di sini harus seperti apa,” imbuhnya. Pihaknya juga meminta pemkab maupun bupati untuk tidak mengintervensi pihak Pemdes Sutawinangun dalam menandatangani surat permohonan penerbitan sertifikat ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Karena jika pihak ahli waris tidak memiliki bukti kuat, tentunya BPN tidak akan menerbitkan sertifikat. Begitu juga pemkab yang jika nanti mengajukan penerbitan sertifikat dan disetujui BPN, maka pihak keluarga juga akan legawa. PUNGUNJUK RASA DIINTIMIDASI Pengunjuk rasa menyayangkan adanya upaya premanisme dari sekelompok pihak yang mencoba menghalangi penyampaian aspirasi masyarakat. Kepada Radar, Baiquni mengatakan, aksi unjuk rasa yang dilakukan masyarakat didampingi Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK) Kabupaten Cirebon semestinya tidak perlu diintervensi atau diintimidasi. Karena unjuk rasa merupakan hak masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya. “Sudah bukan zamannya lagi aksi unjuk rasa diintimidasi,” katanya. Tentu saja, intimidasi yang dilakukan sekelompok orang, tidak mungkin jika dilakukan secara sukarela. Melainkan ada pihak yang menyuruh dengan maksud dan tujuan tertentu. “Siapa lagi yang menyuruh kalau bukan yang kita demo,” tegasnya. Baiquni, mengindikasikan yang menyuruh intimidasi para pengunjuk rasa adalah pihak yang dimintai pertanggungjawabannya atas penyebrotan tanah. “Kalau memang beliau (Bupati, red) pemimpin yang baik, harusnya keluar dan temui kami, bukan menyuruh orang kemudian mengintimidasi,” jelasnya. Pihaknya akan melporkan tindakan intimidasi kepada pihak yang berwajib. “Kita akan lapor polisi, karena polisi yang menjaga aksi unjuk rasa pun tahu,” pungkasnya. (kmg/dri/jun)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: