Muhammad Miftah Sabban, Guru yang Sempat Dipecat setelah Curhat ke Wapres

Muhammad Miftah Sabban, Guru yang Sempat Dipecat setelah Curhat ke Wapres

Mendikbud: Keberanian Miftah Harus Diapresiasi Empat hari setelah wadul kepada wakil presiden (Wapres) tentang kondisi pendidikan di Maluku Tengah, Muhammad Miftah Sabban dipecat. Tapi, tiga hari kemudian dia diminta kembali mengajar setelah kasusnya mendapat sorotan luas. M HILMI SETIAWAN, Jakarta, SYAIPUDIN SAPSUHA, Banda ”PAK Miftah.” Suara itu langsung mengagetkan Miftah Sabban begitu memasuki ruangan. Dari balik meja, Fatima Assagaf, sang kepala sekolah, memandangnya dengan tajam. ”Mulai hari ini dan seterusnya Pak Miftah tidak usah mengajar lagi,” kata Fatima. Hiruk para murid yang akan meninggalkan sekolah yang terletak di Pulau Naira, Kepulauan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, itu masih terdengar dari halaman sekolah. Jam pelajaran pada Senin siang lalu (21/3) itu baru saja selesai. Tapi, tepat pada detik ”vonis” tersebut diketok Fatima, Miftah merasa bahwa tiba-tiba lingkungan sekitarnya senyap. Guru honorer itu bingung, kaget, tak mengerti. ”Mengapa, Bu?” Hanya itu yang secara refleks dia ucapkan. Tapi, tak banyak keterangan yang bisa dia dapatkan. Dengan berat hati, guru pendidikan agama Islam (PAI) itu pun meninggalkan sekolah. Meninggalkan murid-muridnya. Pria kelahiran Banda, Maluku Tenggara Barat, 16 Agustus 1991 itu pun pulang dengan tubuh lunglai. Sesampai di rumah, dia langsung menceritakan pemecatan tersebut kepada istrinya, Miatun Hasanah. Keterkejutan Miftah pun dengan segera menular kepada sang istri yang telah memberinya seorang anak, Syakila Azura Sabban, itu. Meski sempat diliputi tanda tanya besar, Miftah akhirnya mengetahui alasan pemecatannya: keluhan yang disampaikannya empat hari sebelumnya. Tak main-main, curhat tentang kondisi pendidikan itu dia sampaikan kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang tengah berkunjung ke Istana Mini, Banda, Maluku Tenggara Barat. Turut hadir dalam pertemuan itu Gubernur Maluku Said Assagaff dan Bupati Maluku Tengah Tuasikal Abua. ”Saat itu Pak JK membuka sesi dialog. Saya ikut dalam forum itu,” kenang Miftah. Ambon Ekspres (Radar Cirebon Group) yang hadir dalam diskusi itu mencatat, Miftah mendapatkan kesempatan berbicara terakhir. Dia mengungkapkan bahwa kualitas pendidikan, khususnya sumber daya manusia, di Pulau Syahrir, sekitar tiga jam perjalanan laut dari Pulau Naira, memprihatinkan. Mahasiswa semester akhir STKIP Hatta Sjahrir, Banda, itu lalu menanyakan kepada wakil presiden soal upaya pemerintah membenahi kondisi di pulau yang masih masuk wilayah Kabupaten Maluku Tengah itu. ”Siswa sekolah dasar di Pulau Sjahrir harus menyeberang lautan untuk sampai di sekolah. Kalau cuaca buruk, mereka terpaksa tidak masuk sekolah. Jadi, kami berharap ada perhatian pemerintah,” ungkapnya ketika itu. JK mengapresiasi apa yang disampaikan Miftah tersebut. Dia juga sempat bertanya balik ke Miftah, ”Kamu mau ditempatkan di mana saja jika diangkat jadi PNS?” Miftah, seperti diulangnya saat dikontak Jawa Pos tadi malam, langsung menjawab, ”Siap.” Pertemuan yang berlangsung gayeng itu pun selesai. Sejak saat itu sampai hari ”penghukuman”, Miftah sama sekali merasa tidak ada yang aneh. Semuanya wajar-wajar saja. Baik itu dari rekan sesama guru maupun kepala sekolah. Sampai kemudian datanglah Senin siang nan kelam tersebut. Miftah masuk sebagai guru di SDN 02 Naira dengan berbekal ijazah SMK. Dia lulusan jurusan otomotif SMK Budi Utomo Jombang, Jawa Timur. Dia merantau ke Jawa Timur sejak lulus SMP. ”Saya ke Jombang karena ingin mondok,” katanya. Bekal nyantri selama di Jombang itulah yang membuat Miftah akhirnya menjadi guru PAI. Ketika dia masuk ke SDN 02 Naira pada 2011, hanya ada satu orang guru PAI. ”Kemudian, sekitar satu setengah tahun, beliau pensiun. Guru agamanya tinggal saya dan harus mengajar enam kelas,” jelasnya. Kasus pemecatan yang menimpanya itu ternyata tersiar dengan cepat. Simpati dan dukungan pun berdatangan. Termasuk dari Mendikbud Anies Baswedan. Anies menganggap pemecatan tersebut aneh dan keliru. Mantan rektor Universitas Paramadina itu menjelaskan, yang dilakukan Miftah tersebut justru bertujuan memajukan dunia pendidikan di daerahnya. Caranya adalah menyampaikan kondisi yang ada sejujur-jujurnya. ”Justru guru seperti Miftah ini perlu diapresiasi,” kata Anies seusai penutupan pelatihan instruktur nasional (IN) Kurikulum 2013 di Pusdiklat Kemendikbud, Depok, kemarin. Anies mengakui, kepala sekolah negeri bukan pegawai di bawah Kemendikbud. Melainkan jabatan di bawah pemerintah daerah. Tapi, pelopor gerakan Indonesia Mengajar (IM) itu tetap meminta keputusan pemecatan dibatalkan. ”Kembalikan pak guru ke anak-anak didik,” tegas dia. Dukungan kepada Miftah juga datang dari Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi. Dia meminta kasus itu menjadi perhatian, bukan hanya di pemerintah daerah, tapi juga pusat. ”Ini bukti nyata, masih ada perilaku semena-mena kepada guru,” kata dia kemarin. Apalagi terhadap seorang guru honorer, yang posisinya otomatis sangat lemah. Tidak ada landasan hukum yang bisa menjadi sandaran mereka untuk terhindar dari kebijakan semena-mena. Karena itu, Unifah berharap Kemendikbud segera mengeluarkan regulasi untuk melindungi guru honorer. Apalagi, pada hakikatnya, guru honorer dibutuhkan. Sebab, jumlah guru PNS belum banyak dan tidak menyebar. Imbauan dan sorotan tajam dari pusat itu ternyata langsung direspons. Kemarin Fatima sudah mendatangi Miftah di rumah. Dia meminta mahasiswa jurusan bahasa Inggris tersebut kembali mengajar. Tapi, Miftah mengaku masih trauma. ”Yang saya sampaikan adalah fakta kondisi pendidikan di Pulau Sjahrir. Tapi, toh saya kena juga,” kata Miftah. Anies berharap kasus Miftah bisa menjadi cermin untuk belajar. Dia mengatakan, setiap kali kunjungan ke daerah dan bertemu guru, dirinya tuwuk disambati. Mulai urusan tunjangan guru, ujian nasional, kenaikan pangkat, hingga sejenisnya. Bagi Anies, semua keluhan itu berharga. Dia merasa seperti kulakan masalah. Untuk kemudian dipecahkan atau dicarikan solusi di Jakarta. ”Jadi, kalau ada (pejabat atau daerah, red) yang mengaku tidak ada masalah, itu justru aneh,” katanya. (*/c11/ttg)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: