Kebhinekaan adalah Indonesia

Kebhinekaan adalah Indonesia

REFORMASI tahun 1998 melahirkan otonomisasi daerah. Paradigma ini diidealkan sebagai cara atau jalan baru bagi upaya mewujudkan Indonesia secara lebih demokratis dan lebih luas, menyeluruh dan substansial. Demokrasi luas dan substansial meniscayakan keterlibatan semua warga negara dalam pengambilan keputusansosial-politik, pengakuan, penghargaan, perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia, persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang kehidupan, kebebasan dan pengakuan terhadap perbedaan/keragaman identitas; suku, agama, golongan dan sebagainya. Demokrasi seperti itulah impian seluruh bangsa ini, dulu, kini dan untuk selamanya. Tetapi dalam realitas Indonesia hari ini, janji otonomisasi dengan seluruh konsekuensinya itu telah mengaburkan mimpi-mimpi tersebut. Demokrasi kini seakan menjadi ajang perebutan kekuasaan politik secara tak terkendali, demi kepentingan diri, golongan, komunitas dan agamanya. Setiap orang/kelompok social dan atau keyakinan agama dibiarkan bicara apa saja, mengatasnamakan apa saja dan dengan cara apa saja untuk memenangkan pertarungan itu. Atas nama demokrasi, terma mayoritas-minoritas sepertinya menjadi kata pamungkas. UU 1/PNPS/1965, digunakan sebagai alat legitimasi atasnya, bahkan dioperasionalkan melalui kebijakan kementerian-kementerian terkait. Dampaknya adalah aktivitas keberagamaan dan tempat-tempat ibadah agama dan kepercayaan minoritas didiskriminasi bahkan dalam banyak peristiwa dikriminalisasi. Dalam keadaan seperti ini Negara terkesan tak mampu lagi bergerak dan berdiri tegak di atas Konstitusi, UUD 1945. Aspirasi-aspirasi sosial-politik-agama yang dilegitimasi oleh kebijakan-kebijakan negara, dengan nuansa-nuansa keagamaan atau keyakinan pandangan keagamaan tertentu, muncul di seluruh daerah. Dalam konteks ini tubuh perempuan sering menjadi sasaran utama untuk disudutkan, dialienasi, dikontrol dan didiskriminasi pada aktivitas-aktivitas sosial, ekonomi, budaya dan politik, atas nama agama dan moralitas. Komnas Perempuan mencatat lebih dari 340 kebijakan diskriminatif, baik menyangkut relasi antarwarga negara, maupun secara lebih khusus diskriminasi terhadap perempuan. Ini merupakan problem serius, sekaligus mengganggu keberadaan hukum-hukum nasional. Demokrasi mengalami defisit. Dan lebih dari semuanya adalah ancaman terhadap eksistensi Konstitusi dan bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan seluruh kebhinekaannya yang indah itu. Boleh jadi keberadaan beberapa kebijakan publik/politik tersebut dipandang tidak ada masalah jika dilihat dari kacamata prosedur demokrasi, di mana kehendak mayoritas diapresiasi. Akan tetapi ia menjadi sangat krusial dilihat dari aspek substansial dan dampak-dampaknya bagi sebagian masyarakat dan secara lebih khusus kaum perempuan. Jaminan konstitusional untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi seluruh warganya, tanpa kecuali, lalu menjadi terabaikan dan tersingkirkan. Kebijakan-kebijakan negara tersebut, jika begitu, boleh dikatakan telah mengabaikan kebhinekaan bangsa, hak-hak asasi manusia sekaligus mereduksi demokrasi substansial, kewibawaan konstitusi dan keadilan hukum. PANCASILA DAN UUD 1945 SEBAGAI FONDASI Menjelang kemerdekaan tahun 1945, isu-isu relasi antara agama dan negara diperdebatkan para pendiri bangsa dalam suasana yang acapkali mencekam dan nyaris menunda deklarasi kemerdekaan untuk waktu yang tak pasti. Setelah perdebatan yang panjang, berhari-hari, berlarut-larut dan amat melelahkan, sebuah kompromi akhirnya dicapai. Pancasila sebagai ideologi negara dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusionalnya. Kebesaran jiwa, kearifan dan sikap kenegarawanan para pendiri Negara bangsa inilah yang memungkinkan ia terjadi. Pancasila sebagai dasar Negara diyakini sebagai wujud dari hubungan paling ideal antara agama dan negara. Ia, sekaligus hendak menegaskan bahwa Indonesia bukanlah negara agama, bukan Negara teokrasi, tetapi juga bukan negara sekular. Sila Pertama Pancasila; Ketuhanan yang Maha Esa, menunjukkan dengan jelas Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan kepercayaan. Agama/kepercayaan/keyakinan menjadi landasan etis, moral dan spiritual bagi bangunan sosial, ekonomi, kebudayaan dan politik Negara bangsa dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warga negaranya, tanpa diskriminasi atas dasar apa pun juga. Pancasila dan UUD 1945 telah menjadi titik temu paling ideal dari berbagai aspirasi dan kehendak-kehendak yang beragam dari para penganut agama-agama, kepercayaan-kepercayaan dan penghayat. Seluruh perbedaan keyakinan ini telah lama hadir di bumi Nusantara, tempat republik ini, sebelum menjadi merdeka, bahkan secara bersama-sama kemudian memperjuangkan kemerdekaannya dengan segenap jiwa raganya. Para pemeluk agama dan kepercayaan meyakini bahwa agama dan kepercayaan mereka sejak awal dihadirkan di tengah-tengah makhluk Tuhan, untuk misi pembebasan manusia dari segala bentuk sistem sosial yang diskriminatif, demi penghargaan atas martabat manusia, untuk keadilan sosial, menciptakan persaudaraan dan kesejahteraan bersama umat manusia. Ini semua merupakan nilai-nilai agung, fundamental dan universal dalam semua agama dan kepercayaan. Ia adalah dambaan semua orang di muka bumi ini. KH Ahmad Sidik, Rois ‘Am Syuriah PBNU, dalam pidatonya di hadapan para ulama NU dalam Muktamar 1984 di Situbondo menegaskan; “Dengan demikian, Republik Indonesia adalah bentuk upaya final seluruh Nation, teristimewa kaum muslimin, untuk mendirikan negara di wilayah Nusantara. Para ulama dalam NU meyakini bahwa penerimaan Pancasila ini dimaksudkan sebagai perjuangan bangsa untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial.” Dari pijakan dasar spritualitas inilah, Pancasila dan Konstitusi Negara Republik Indonesia, yakni UUD 1945, harus menjadi dasar fundamental bagi seluruh produk kebijakan publik-politik, dalam segala bentuknya sekaligus tidak boleh bertentangan dengannya. Konsekuensi logisnya adalah setiap kebijakan publik-politik yang bertentangan dengan konstitusi harus direvisi atau dibatalkan. KEBHINNEKAAN ADALAH INDONESIA Indonesia adalah negara dengan sejuta keragaman yang menyebar di lebihdari 17.000 pulau. Di dalamnya ada lebih dari 1.100 suku bangsa yang berkomunikasi dengan ratusan bahasa dan dialek, dengan puluhan agama, ratusan keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa melalui sebutan yang berbeda-beda dan beribadah kepada-Nya dengan tata-cara yang berbeda-beda. Di sana juga ada ribuan adat-istiadat dan tradisi yang beragam. Ini adalah warisan yang berasal dari berabad-abad masa-masa silam Indonesia. Perbedaan-perbedaan latar belakang agama, keyakinan, adat-istiadat, suku dan bahasa, tidak menjadi penghalang bagi mereka, laki-laki dan perempuan untuk bekerja sama, saling membantu dan membangun kehidupan yang diidamkannya serta berjuang bersama untuk menjadi sebuah komunitas besar yang bernama negara-bangsa. Keberagaman realitas masyarakat Indonesia dan cita-cita untuk membangun bangsa dirumuskan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Keberadaan itu tak dapat dinafikan oleh siapa pun dan dengan cara apa pun. Indonesia adalah Bhinneka, dan Kebhinnekaan adalah Indonesia. Meniadakannya adalah meniadakan Indonesia. Itulah makna menjadi Indonesia. Untuk menjaga situasi keberagaman yang damai dan ke-Indonesia-an yang utuh, bangsa ini memerlukan para pemimpin yang berpandangan luas, arif dan bekerja keras dengan tulus, bukan hanya pandai berorasi. (*) *Penulis adalah mantan Komisioner Komnas Perempuan dan Pendiri Yayasan Fahmina  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: