Tragedi Barok dan Pergulatan Manusia Sado

Tragedi Barok dan Pergulatan Manusia Sado

BAROK adalah momok. Pimpinan para rampok, bromocorah, jambret, pencoleng, pemalak, penodong. Berdiam di sebuah kampung kumuh, terbelakang, padat penduduk, dan (pastilah) tak terjangkau kemakmuran. Tidak ada listrik, sampah berserak di sembarang tempat, orang-orang  biasa mandi dan berak di sungai pekat aroma bacin. Kata-kata kasar dan kotor berseliweran di setiap percakapan. Tapi Barok bahagia. Memangsa siapa saja yang melintas di kampung itu. Semua takut kepadanya. Semua melindunginya dari kejaran pihak berwajib. Hanya kepada Aki pemancing tua, Barok menaruh hormat. Dan kepada Aki jugalah ia belajar tentang hidup yang lain termasuk mengadukan gebalau perasaan. Atas saran Aki, Barok yang sangar mengganti nama jadi Karnadi (diambil dari cerita Sunda Karnadi Bandar Bangkong) sebab tersihir kecantikan Yani, anak camat penggila hormat. Pejabat baru dengan setumpuk gelar akademik yang dibelinya dari kampus abal-abal. Jadilah Barok yang hanya kelas empat sekolah dasar, mengakali keluarga Camat Kosim dengan berpura-pura kaya dan sekolah di Amerika. Menjadi Karnadi agar terpandang dan memiliki harga diri. Barok yang kampung, berusaha keras tidak jadi kampungan. Mencari tahu harga mobil termahal, pakaian dan parfum mewah, kampus luar negeri terkemuka, gaya hidup jetset. Anak-anak buahnya dibuat kalangkabut karena Barok buta teknologi dan tak bisa membaca. Maka, tak usah heran mendengar Barok menyuruh anak buahnya merampok siapa saja yang lewat membawa internet. Usaha kerasnya tidak percuma. Meski prosesnya dibuat ribet oleh kemarahan dan kekonyolan-kekonyolan, Barok berubah jadi miliuner. Bergelar PhD dari Harvard University, ahli teknologi informasi, menunggang Lamborghini, kapal pesiar, dan jet pribadi. Direktur kilang minyak dan sejumlah perusahaan multinasional di negeri ini. Camat Kosim terperangah, Yani termehek-mehek. Meski di akhir cerita—sebagaimana kisah Karnadi Bandar Bangkong yang tragis­­—penyamaran Barok terbongkar dan harus menerima akibat. Dirajam kakitangan Kosim dan didor timah panas polisi. Lakon Barok (Tidak Bodoh, Tapi Tidak Tahu, Sebab Tidak Pernah) karya dan disutradarai Aan Sugianto Mas dimainkan oleh Teater Sado di Gedung Kesenian Raksawacana Kuningan (19 Maret sampai 9 April 2017), mengabarkan kepada penonton bahwa mustahil antara tidak punya dan punya bisa terjalin kemesraan. Sejak zaman sebelum nabi hingga hari ini. Tapi, di luar itu semua, menjadi manusia pencoba dan berkeras untuk menjadi tahu adalah hak siapa saja. Sebagaimana petikan dialog Barok: Aku Karnadi/Manusia tidak bodoh/Yang telah jadi tahu tentang apapun kekayaan manusia/Meski aku tetap tidak pernah punya//Aku Barok/Manusia yang terpaksa jadi Karnadi/Karena nasib tidak mendadak mengubah keadaan manusia/Sementara rasa menuntut aku harus bergerak segera//Aku Barok sekaligus Karnadi/Manusia yang mencoba melawan/Pendapat kalian yang mengatakan dalam pikiranmu/Bahwa mustahil antara tidak punya dan punya bisa mesra//Aku manusia pencoba!/// Barok adalah cermin tragedi kemanusiaan sepanjang zaman. Ia akan selalu menjadi penanda dan petanda ruang-ruang sosial di segala penjuru. Terus melingkar mengisi siklus kehidupan tanpa batas tanpa aturan. Kalaupun ada sedikit perbedaan, itu lebih disebabkan oleh sosio-geografi dan kekhasan karakteristik manusianya di masing-masing tempat. Kaya dan miskin laksana takdir yang saling mengisi dan seolah harus selalu bertentangan. Dan lewat naskahnya ini, Aan Sugianto Mas terlihat hendak mengkritisi penyakit mental masyarakat kita yang gemar membedakan derajat manusia berdasarkan kepemilikan benda-benda. Kemiskinan dituding sebagai biang segala dosa dan kesalahan. Sementara pangkat, gelar, harta benda, dan jabatan, seperti lisensi dan kewenangan untuk melemparkan orang-orang miskin ke dalam neraka. Aan juga ingin menegaskan, proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan tidak melulu harus bergantung kepada uang. Justru cara Kosim mendapatkan gelar dan tidak boleh salah dalam setiap penyebutan, adalah ironi yang terpapar di depan mata telanjang dan teramat berurat akar. Dalam konteks ini, Barok yang buta huruf menjadi sosok jujur ketika ingin menjadi tahu. Dan Barok tidak mundur meski sejengkal ketika dipukuli beramai-ramai. Darahnya memuncak karena Kosim berulang-ulang meyebutnya bodoh. PERGULATAN MANUSIA SADO Spirit perlawanan Barok terhadap kosakata dan sebutan bodoh, lebih mirip presentasi semangat dan identitas Teater Sado. Kelompok yang lahir pada 1997 dan awalnya murni sebagai teater kampus STKIP Kuningan ini, kemudian melebarkan sayapnya dan berdiri sebagai kelompok teater di luar kampus dengan dasar pikiran agar Kabupaten Kuningan memiliki tempat berkumpul yang lebih terbuka. Dan sebagai penggagas, Aan Sugianto Mas menyebut Sado sebagai teater latihan. Sebagaimana lazimnya teater latihan, Sado lebih merupakan tempat penjelajahan beragam karakter manusia untuk kemudian diterjemahkan dalam seni peran. Proses pemikiran, penghayatan, reaksi, dialog, persetubuhan mesra manusia dengan kemanusiaannya itu sendiri, jauh lebih penting ketimbang menjadikan pementasan sebagai tujuan akhir. Harapannya, dalam segala kehidupan manusia Sado harus memiliki sikap. Pada perkembangan berikutnya, Sado mengalir ke wilayah yang lebih majemuk. Kelompok ini menyesuaikan minat yang beragam dari penghuninya. Manusia Sado tidak berhenti di pementasan sebagai arena asah kreatifnya, tetapi beranjak ke pergulatan seni hidup lainnya seperti lukis, pahat, musik, handycraft, dekorasi, desain interior, taman, patung, jurnalistik, dongeng, fotografi dan videografi, konveksi, dan lain-lain, bahkan dengan sadar masuk ke wilayah industri kreatif apapun wujudnya. Tentu saja, semua itu tidak lepas dari napas artistik, kerjasama, disiplin, dan manajemen teater sebagai dasar pijaknya. Penyadaran ini harus dilakukan sebab manusia Sado pantang terpuruk saat berada di panggung kehidupan sesungguhnya. Awal 2016, Teater Sado mementaskan lakon berjudul Lelaki Tua dan Ibu Sepuh Ratu Rita—yang dipersembahkan secara khusus untuk almarhum penyair Ahmad Syubbanuddin Alwy—yang dipentaskan secara marathon 21 kali, dengan jumlah penonton sembilan ribu orang. Sementara, lakon Barok sampai akhir jadwal pertunjukan mencatat kehadiran 14 ribu penonton. Fakta ini, bagaimana pun, tercatat sebagai capaian spektakuler yang sulit ditandingi oleh kelompok-kelompok teater lain di Wilayah III Cirebon bahkan mungkin di Jawa Barat, yang mengisyaratkan rapinya manajemen pengelolaan penonton. Sebentuk ikhtiar yang sabar dan telaten sebagai manifestasi penegakkan konsep bahwa penonton adalah manusia. Tangan dingin Aan Sugianto Mas-lah penyebabnya. Sampai-sampai, dalam kondisi kesehatan yang memburuk yang mengharuskannya istirahat total di pembaringan, Aan masih sanggup menulis dan menggarap naskah Barok dengan kalimat persembahan di akhir naskahnya: Buat tubuhku yang tak sepaham dengan inginku..! Teater Sado dan manusianya adalah fenomena. Magma yang bergolak dan menderas dari kota kecil di kaki Gunung Ciremai yang tetap bersikap rendah hati dan tak pernah melupakan muasalnya, tanah Sunda sebagai tempat diam dan berpijak. Karena itu, dalam setiap naskah dan pementasannya, Aan selalu menyertakan idiom-idiom dan kosakata lokal sebagai bagian penting dalam dialog tokoh-tokohnya. Dialog khas manusia Sunda yang lugas, ekspresif, meski kadang banal dan nakal. (*) *Penulis adalah aktor, pegiat sastra di Lingkar Jenar  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: