Tajug Agung dan Kisah Pangeran Kejaksan

Tajug Agung dan Kisah Pangeran Kejaksan

CIREBON - Tajug Agung Pangeran Kejaksan masih terjaga dengan baik beberapa bentuk aslinya, seperti kayu penyanggah, memolo kubah, hiasan piring-piring di dinding khas perpaduan bangunan Tiongkok dan Arab, serta masih adanya kulah atau sumur yang berguna untu bersuci sebelum melaksanakan ibadah. Tajug yang terletak di gang kecil, tepatnya di RW 03 Pamitran Utara Kecamatan Kejaksan Kota Cirebon. Menuju tajug ini ada sebuah papan yang menunjukkan bahwa masjid ini merupakan cagar budaya Cirebon. Sebelumnya, Tajug Pangeran Kejaksan bernama Masjid Muhajirin. Tajug yang menempati area tanah seluas 400 meter persegi ini memiliki ketinggian sekitar 10 meter dengan dua ruang ibadah. Warna putih mendominasi bangunan masjid, baik bagian luar maupun dalam. Juru kunci Tajug Pangeran Kejaksan, Uki Saluki mengatakan, dari zaman ke zaman setiap generasi tidak pernah menceritakan sejarah dan asal usul berdirinya tajug ini. \"Nggak pernah bercerita pasti asal-usul sejarah kapan pastinya Tajug Pangeran Kejaksan ini berdiri, hanya diperkirakan pada tahun 1480 M,\" ujar Uki, kepada Radar Cirebon. Tajug Agung Pangeran Kejaksan memiliki ruang ibadah utama berukuran 9 meter x 7 meter, sedangkan ruang ibadah tambahan berukuran 13 meter x 7 meter. Kedua bangunan ibadah ini dipisahkan dinding yang terbuat dari bata merah dengan pintu penghubung di tengah-tengahnya. Dinding ini dihiasi oleh keberadaan keramik tua bercorak Eropa dan Tiongkok sebanyak 33 buah yang ada di bagian atas dan bawah. Tajug Agung Pangeran Kejaksan hanya menyisakan tanah yang dilapisi paving block seluas 3 meter x 7 meter yang merupakan ruang terbuka dan berfungsi sebagai halaman. Di sekeliling bangunan yang diperkirakan berusia 600 tahunan dan dibangun pada masa Pangeran Kejaksan atau Syekh Syarif Abdurrahim dikelilingi pagar tembok. Uki menceritakan, berdasarkan babad Cirebon, pada tahun 1478 M, menjelang pembentukan Kerajaan Cirebon, empat orang bersaudara dari Baghdad berlayar menggunakan empat kapal menyusul orang tuanya Syekh Dahtul Kahfi ke Amparan Jati yang sekarang dikenal sebagai Gunung Jati. Mereka datang dengan disertai kurang lebih 1.200 orang pengikutnya. Mereka mendarat di Pelabuhan Muara Jati. \"Hubungan antara Sunan Gunung Jati dengan Pangeran Kejaksan adalah saudara misan, yaitu ibunya Pangeran Kejaksan adalah kakak dari ayahnya Sunan Gunung Jati, sehingga derajat Pangeran Kejaksan lebih tua dari Sunan Gunung Jati,\" jelasnya. Setelah bertemu ayahandanya, Pangeran Kejaksan dan saudara-saudarinya meneruskan perjalanan ke arah selatan menuju Keraton Pakungwati. Saat itu Keraton Pakungwati masih dipimpin Mbah Kuwu Cirebon, sebutan lain dari Pangeran Cakrabuana dan Pangeran Walangsungsang. Setelah Cirebon lepas dari kekuasaan Kerajaan Galuh dan menjadi negeri yang merdeka, pimpinan Keraton Pakungwati diserahkan oleh Mbah Kuwu Cirebon kepada menantunya yaitu Sunan Gunung Jati. Oleh Sunan Gunung Jati, Pangeran Kejaksan diberi jabatan sebagai adhiyaksa, Pangeran Panjunan sebagai Abu Dampul (Panglima Perang), sedangkan Syarif Hafidz ditugaskan membantu mengajar Agama Islam dengan ayahnya di Gunung Jati. Pangeran Kejaksan semasa hidupnya tinggal di Kejaksan dan memiliki jabatan sebagai Jaksa I atau Lurah. Beliau wafat pada tanggal 27 Rajab dan dimakamkan di Plangon. Sedangkan Pangeran Panjunan semasa hidupnya tinggal di Panjunan, hingga wafatnya pada tanggal 2 Syawal dan di makamkan di Plangon. Makamnya berdampingkan dengan Pangeran Kejaksan. (mik)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: