Kasus Beras Oplosan Makin Rancu

Kasus Beras Oplosan Makin Rancu

JAKARTA- Penggerebekan gudang PT Indo Beras Unggul (IBU) di Bekasi oleh kepolisian beberapa waktu lalu masih mengundang banyak tanya. Pemerintah terkesan tidak konsisten atas tuduhan yang diarahkan pada PT IBU. Misalnya soal subsidi. Sebelumnya, PT IBU diduga mempermainkan harga beras subsidi. Alasannya, beras dari benih  IR 64 yang dibeli PT IBU dari petani adalah beras subsidi. Dengan alasan, bahwa dalam produksinya, para petani mendapatkan subsidi input seperti bantuan benih, pupuk, alat-alat pertanian. Menurut Wakil Ketua Komisi IV DPR Viva Yoga Mauladi, ada kerancuan pengertian beras subsidi. ”Setahu saya, pengertian beras subsidi itu raskin (beras untuk keluarga miskin, red) atau rastra (beras untuk keluarga sejahtera, red) yang sepenuhnya ditangani Bulog sesuai dengan Inpres Nomor 5 tahun 2015,” katanya. Sementara, meskipun benih IR 64 tumbuh dan diproduksi dengan bantuan subsidi input, belum tentu hasil dari IR 64, baik berupa beras maupun gabah, otomatis menjadi beras subsidi. “Makanya, perlu dipertegas aturannya. Kalau benihnya subsidi apa lantas berasnya juga berstatus beras subsidi?” kata politikus PAN ini. Maka dari itu, Viva meminta pemerintah mempertegas aturan tentang beras subsidi agar tidak salah langkah. Juga agar petani dan para pengusaha mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum. Apalagi soal pidana. tuduhan mesti ditetapkan secara hati-hati. “Contohnya, kalau PT IBU membeli beras subsidi, lantas dioplos, itu baru namanya tindak pidana,” jelasnya. Viva menambahkan, kalaupun PT IBU membeli gabah dari petani lebih tinggi dari harga pokok produksi (HPP), maka seharusnya hal tersebut tidak dipermasalahkan. Menurut inpres nomor 5 tahun 2015, Bulog membeli gabah ke petani dengan HPP Rp 4.300 per kilogram, kemudian beras premium dengan HPP Rp7.300 per kilogram. “Kalau ada pengusaha yang membeli diatas itu, justru lebih bagus,” ungkapnya. Meski demikian, Viva mengaku sepakat dengan Menteri Pertanian bahwa perusahaan tidak boleh berambisi meraup keuntungan fantastis di tingkat middle man (distributor dan pengecer) Terpisah,  Menteri Pertanian Amran Sulaiman menuturkan, hampir semua beras yang beredar di pasaran saat ini berasal dari satu benih yang sama. “Itu IR64, Ciheran, Infari, semuanya satu kelas, 90 persen sumbernya sama,” ujarnya usai Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara kemarin (24/7). Pemerintah sendiri selama ini menyubsidi input para petani. Mulai dari subsidi benih, subsidi pupuk yang mencapai Rp30 triliun, hingga alat dan mesin pertanian (alsintan). “Sehingga, hasil per hektare atau per ton itu di dalamnya ada subsidi negara karena kita subsidi inputnya,” lanjut Amran. Harga awal beras di tingkat petani rata-rata Rp7.000 per kilogram. Namun, ketika dicek di supermarket, setelah beras itu dikemas dalam berbagai label, banyak yang mematok harga tinggi kepada konsumen. Misalnya, ada yang sampai Rp25 ribu. Selisihnya cukup jauh, hingga 3,5 kali lipat dari harga awal. Karena itulah, tutur Mentan, saat ini yang sedang diupayakan adalah perbaikan dari sisi distribusi. Rantai distribusi mau tidak mau harus diperpendek demi membuat harga beras lebih terjangkau bagi konsumen. Sehingga, tidak hanya petani dan distributor saja yang menikmati keuntungan. Salah satu contoh yang sudah dijalankan adalah toko tani Indonesia. Dia mengambil beras langsung dari petani dan menjualnya secara retail dengan harga Rp7.800-8.000. Nominal tersebut merupakan harga yang harus ditanggung oleh konsumen akhir. Disinggung bagaimana menentukan beras tersebut premium atau medium dengan benih yang sama, Amran tidak bersedia menjelaskan lebih jauh. Yang jelas, di pasaran harganya sudah bervariasi. Pihaknya masih akan bertemu dengan para pedagang beras untuk merumuskan regulasi yang tepat mengenai harga beras. (tau/byu/syn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: