Awalnya Kaki Gerak Sendiri, Kini Tulang Punggung Membentuk Huruf S

Awalnya Kaki Gerak Sendiri, Kini Tulang Punggung Membentuk Huruf S

CIREBON-Namanya Savira Farah Putri. Remaja berusia 15 tahun itu didiagnosa menderita Generalized Dystonia. Penyakit langka semacam parkinson, yang merupakan sydrome menyerang syaraf motorik otak sehingga membuat otot melakukan gerakan-gerakan sendiri tanpa disengaja. Penyakit yang dialami Savira Farah Putri sedikit merenggut keceriaan dari wajahnya. Anak pertama dari Faidah (40) itu sudah mengalami gejala sydrome sejak 2010. Kakinya mengalami tremor atau gerak-gerak sendiri tanpa dikontrol. Dari sana, Faidah yang single parent itu membawa anaknya ke dokter anak. “Saat itu dicek tidak menunjukkan indikasi penyakit apapun. Semua normal. Sampai dicek beberapa kali, tidak ada indikasi penyakit apa-apa,\" ujar Faidah saat ditemui Radar Cirebon di rumahnya, RT 04 RW 01 Gang Kisangu, Desa Jadimulya, Kecamatan Gunungjati, kemarin. Rasa penasaran, Faidah kembali membawa anaknya untuk berobat ke dokter syaraf. Waktu itu dokter belum mendiagnosa apapun. Tapi setelah berobat, kondisi Savira sempat menunjukkan kemajuan. Namun lama-kelamaan justru gejala tremor malah makin menyebar, dan kondisi tubuh Savira mulai lemah. Bahkan tremornya menyebar sampai ke tangan dan leher. “Lama-lama tidak ada perbaikan, malah makin memburuk,\" ucapnya. Kondisi itu tambah memburuk sejak tahun 2012, saat Savira duduk di kelas 6 SD. Tak putus asa, Faidah pun membawa anaknya kembali berobat sampai dirawat dan menjalani fisioterapi selama delapan hari. Namun tidak kunjung ada kemajuan. Faidah kemudian berkonsultasi ke dokter syaraf yang lain. Dari sana, muncul diagnosa. Karena perubahan fisik yang sudah terlihat itu, dokter mendiagnosa Savira menderita penyakit dystonia. Dokter yang mendiagnosa dystonia itu lalu menyarankan untuk ke Bandung Mmenempui dokter ahli syaraf movement disorder. Saat itulah dokter tersebut menyarankan agar Savira menjalani operasi Deep Brain Stimulation (DBS), yaitu dengan penanaman chip pada otak dan baterai di dalam tubuh Savira. Pemasangan chip itu berfungsi mengontrol gerakan yang tidak bisa dikedalikan itu. Karena belum mendapatkan informasi utuh untuk operasi DBS, kondisi Savira semakin memburuk. Hingga pada kelas 3 SMP, Savira tidak bisa duduk seperti orang normal. Untuk berjalan dan berdiri Savira tak bisa bertahan lama. Sehingga dia harus berjalan sambil merangkak. Tubuhnya membetuk huruf S. Sehingga dia tak bisa berdiri tegak. “Itu karena otot-ototnya bergerak terus, sehingga tulang tubuhnya berubah. Kalau lama-lama bisa patah tulangnya. Dia juga jadi cepat lelah karena sesak kalau lama berdiri,\" katanya. Faidah mengaku sudah pernag menemui dokter di salah satu rumah sakit di Jakarta. Dokter tersebut memberikan rincian biaya operasi penangan DBS. Nilainya cukup fantastis, mencapai Rp500 juta. Padahal latar belakang ekonomi keluarga tak memungkinkan. Faidah hanya menjadi guru honor di SMAN 1 Cirebon. Jadinya Savira tak kunjung diobati. Savira sendiri “ikut” ibunya menjadi siswi kelas X SMAN 1 Cirebon. Kondisi fisik Savira yang terus memburuk itu membuat dia kehilangan keceriannya. Dulu Savira seperti anak lainnya. Bisa bergaul dan bermain. \"Aslinya itu anaknya ceria, tapi karena kondisi fisiknya sekarang jadi gak bisa ikut bermain seperti teman yang lain. Sehingga sekarang agak tertutup. Kalau istirahat aja di sekolah dia kan gak bisa ke mana-mana. Hanya berbaring di bangku saja,\" ujar Faidah. Faidah bersyukur Savira masih tetap bersemangat untuk sekolah. Teman-temannya di sekolah pun menerima keberadaannya. Untuk bersekolah, Savira harus dijemput naik becak. Lalu diantar ke sekolah dengan ditemani ibunya. Kursi roda sudah disiapkan di sekolah. Begitu pula saat di kelas. Karena tidak bisa duduk normal, Savira menggunakan bangku panjang untuk berbaring. Harapan satu-satunya agar Savira bisa sehat kembali dengan cara operasi DBS. Gerakan kepedulian muncul dari berbagai komunitas. Salah satunya komunitas kitabisa.com yang menggalang dana secara online. Juga dari komunitas lainnya. \"Operasi itu memang belum familiar di Indonesia, tapi di negara-negara barat sudah banyak yang berhasil. Kemungkinan hidupnya 50 persen lebih,\" kata Faidah. Savira sendiri sebenarnya sudah pesimistis dengan pengobatannya itu. Namun dengan dukungan dari ibundanya, dia tetap menjalankan berbagai macam upaya agar bisa menjalani pengobatan. \"Kalau Savira memang sudah bilang gak apa-apa kayak gini aja. Tapi kan saya sebagai orang tua tetap ingin agar anak itu bisa sembuh. Minimal tidak semakin memburuk. Karena bisa jadi kalau sudah memburuk itu tulang pungungnya bisa patah karena ketarik terus sama gerakan ototnya,\" jelasnya. Kini dari gerakan penghimpunan dana itu, sudah terkumpul sekitar Rp150 juta. Masih banyak sisa yang belum tercover untuk membiayai biaya operasi DBS sebesar Rp500 juta. \"Sebenarnya ada juga penangan dengan cara operasi palidotomi, tapi kemungkinan sembuhnya kecil. Yang paling besar sembuhnya dengan operasi DBS,\" katanya. Sambil menunggu dana terkumpul, Savira hanya bisa beraktivitas seperti biasa. Sehabis pulang dari sekolah, dia hanya membaca dan menonton televisi. Hobinya membaca buku-buku cerita misteri. \"Ya aktivitas pasti terhambat. Dia gak bisa lama berdiri, karena tubuhnya melengkung. Tapi kalau tidur pules itu dia masih bisa lurus posisinya. Itulah yang membuat dokter menyimpan harapan Savira ini masih bisa sembuh,\" ucap Faidah berharap. Dystonia memang membuat Savira kesulitan beraktivitas. Untuk berjalan saja ia harus istirahat setiap beberapa langkah dan berjongkok. Tangannya juga bergetar sehingga kesulitan menulis. Padahal dia bercita-cita menjadi penulis. Di tengah keterbatasan itu, remaja yang akrab disapa Vira itu tetap semangat ke sekolah. (jml)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: