May Day, Kemana Nasib Buruh Tani?

May Day, Kemana Nasib Buruh Tani?

CIREBON-Sudah menjadi tradisi, hari ini diperingati sebagai hari buruh internasional. Terkait hal ini muncul sebuah pertanyaan, apakah para buruh tani juga termasuk mereka yang pantas merayakannya? Faktanya, nasib buruh kasar di negeri ini, yang akrab bergumul dengan kemiskinan, kerap terabaikan di hari buruh, hari ketika tuntutan perbaikan kesejahteraan dan kenaikan standar pengupahan disuarakan secara lantang dengan cara turun ke jalan. Desa Losari Lor memfokuskan perekonomiannya pada sektor pertanian. Komoditas utama yang dihasilkan adalah bawang merah, serta tanaman padi dan jagung sebagai produksi sampingan. Fokus pada pertanian ini menyebabkan banyak warga desa yang bekerja sebagai buruh kasar, atau dalam kasus ini ialah buruh tani. Petani buruh mendominasi mata pencaharian di Desa Losari Lor. Di samping buruh tani, terdapat sebagian warga yang bertatus sebagai petani—yang memiliki lahan, namun tidak banyak. Sistem kepemilikan lahan sendiri terbagi dua: kepemilikan secara pribadi dan kepemilikan secara sewa. Sebagian besar petani memiliki lahan pertanian dengan status sewa dalam jangka waktu bulanan hingga setahun. Buruh tani bekerja selama kurang lebih dua puluh hari dalam satu bulan. Pendapatan per hari mereka dengan asumsi kerja jam penuh, diperkirakan sebesar 30 ribu hingga 50 ribu rupiah. Angka tersebut berfluktuasi seiring dengan seberapa produktif kerja mereka. Tak bisa dimungkiri, hingga kini kemiskinan tetap menjadi fenomena sektor pertanian. Pasalnya, sebagian besar penduduk miskin negeri ini tinggal di desa dan menggantungkan hidup pada sektor pertanian, umumnya, sebagai petani atau buruh tani. Statistik kemiskinan resmi yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) bulan September 2014 menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin di tanah air mencapai 27,73 juta orang atau mencakup 10,96 persen dari jumlah total penduduk Indonesia. Mayoritas dari jumlah total penduduk miskin tersebut tinggal di pedesaan dengan persentase mencapai 62,6 persen. Upah buruh tani Juli 2017 meningkat dibandingkan bulan sebelumnya, baik secara nominal maupun riil. Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), upah nominal harian buruh tani nasional naik sebesar 0,18 persen dibandingkan upah buruh tani Juni 2017.  Pada Juni 2017 tercatat upah nominal harian buruh tani senilai Rp 49.912, maka pada Juli 2017 tercatat senilai Rp 50.003. Sementara itu, upah riil juga meningkat sebesar 0,03 persen dari Juni 2017 senilai Rp 37.296 menjadi Rp 37.408 pada Juli 2017. Kenaikan upah buruh tani yang terjadi pada bulan Juli 2017 ini melanjutkan tren kenaikan pada bulan sebelumnya. Pada bulan Juni 2017, upah nominal harian buruh tani naik sebesar 0,26 persen dibandingkan bulan Mei 2017, yaitu Rp 49.782 menjadi Rp 49.912 per harinya. Sementara upah riil juga mengalami kenaikan sebesar 0,04 persen, yaitu Rp 37.380 menjadi Rp 37.396. Pelaksana Tugas Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian (Kementan), Suwandi dalam keterangan tertulisnya, “Dengan meningkatnya nilai upah riil ini bisa disebut adanya peningkatan dari pendapatan yang diterima buruh. Semakin tinggi upah riil maka bisa disebut semakin tinggi pula daya beli buruh tani.” Namun apa daya, para buruh tani adalah kaum terpinggirkan di negeri ini. Mereka hanyalah kumpulan orang-orang—paling tinggi tamatan sekolah dasar—yang tidak memiliki kemewahan untuk berserikat, berorganisasi, atau apapun namanya untuk menuntut perbaikan kesejahteraan di ruang publik. Sebagai pekerja di sektor informal, mereka juga tak punya posisi tawar yang cukup kuat untuk menuntut kenaikan upah. Tak seperti pekerja di sektor formal (karyawan), mereka tak mengenal istilah upah minimum regional (UMR). Jadi, tak usah heran bila upah mereka lebih rendah bila dibandingkan dengan upah pekerja kasar lainnya. Misalnya, upuh buruh bangunan. Jika pemerintah peduli terhadap kesejahteran buruh tani, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah memberi mereka lahan garapan. Tanpa lahan pertanian, mereka yang umumnya memiliki tingkat kapabilitas yang rendah dan minim keahlian serta amat bergantung pada ekonomi usaha tani, bakal sulit keluar dari kubangan kemiskinan. Pada masa kampanye lalu, salah satu janji yang diobral oleh pasangan Jokowi-JK adalah reforma agraria. Salah satu bentuk implementasi janji tersebut adalah kepemilikan lahan pertanian untuk 4,5 juta kepala keluarga. Konon, para buruh tani dan petani gurem termasuk yang diprioritaskan dalam rencana bagi-bagi lahan tersebut. Karena itu, sudah saatnya janji tersebut direalisasikan. Jangan sekadar menjadi ingin surga. Dengan demikian, kesejahteraan para buruh tani dan keluarganya dapat ditingkatkan. (wb)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: