Santri Milenial di Tengah Gelombang Industri Digital

Santri Milenial di Tengah Gelombang Industri Digital

TRANSAKSI keuangan pada Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) yang dihelat hari Rabu pekan lalu cukup mengejutkan. Dengan mengusung tema ‘Belanja untuk Bangsa’, nilai transaksi penjualan dalam satu hari itu diperkirakan mencapai Rp7 triliun, lebih dari empat kali nilai transaksi harian. Angka itu pun melonjak hampir dua kali lipat Harbolnas tahun lalu. Fantastis. Jumlah yang ikut serta dalam Harbolnas pun mencapai 300 pelaku e-commerce. Di antaranya adalah Lazada, Shopee, Blibli, Elevenia, dan Zalora. Banyaknya jumlah marketplace ini membuat sektor e-commerce menduduki posisi tiga besar investasi di Indonesia setelah industri minyak dan gas (Data AT Kearney & Amvesindo dan Google, 2017) Di mana posisi lulusan pesantren (baca: santri) dalam hiruk pikuk ekonomi digital ini? Menjadi bagian dari produsen, atau sekadar konsumen? PERGESERAN PEREKONOMIAN SANTRI Beberapa dekade lampau, jauh sebelum era digital, status sosial lulusan pesantren cukup baik. Faktornya adalah pemahaman ilmu agama yang mumpuni yang berpadu dengan kemampuan agribisnis yang baik. Jalinan dua faktor tersebut membuat lulusan pesantren disegani karena ‘alim’ juga lantaran tergolong level ekonomi kelas menengah yang memiliki lahan pertanian cukup luas. Dekade berikutnya, orientasi ekonomi santri perlahan bergeser seiring maraknya pembangunan industri di Indonesia. Bagi yang melanjutkan ke jenjang sarjana, umumnya berkarir di sektor formal. Namun mereka yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi formal, memilih di antara dua; menjadi petani di desa atau menjadi karyawan pabrik. Situasi ini bertambah pelik pada tahun-tahun berikutnya. Santri yang berprofesi petani kian merosot. Tidak ada survei yang fokus memotret angkanya, namun jumlah tersebut bisa tergambar dalam sensus pertanian 2013. Struktur usia petani didominasi oleh petani tua. Dalam hal ini 60,8 persen petani berusia di atas 45 tahun dengan pendidikan rendah. Tentu yang dimaksud rendah ini adalah sekolah formal (SD/SMP), kendati di pesantren sudah menamatkan madrasah diniyah hingga jenjang aliyah. Tentu banyak sebab yang memicu pergeseran orientasi ekonomi. Salah satunya adalah imbas dari perkembangan teknologi yang semakin pesat. Menurut Jusman Dalle, praktisi ekonomi digital, perubahan orientasi ekonomi dunia telah melalui empat masa; era pertanian, era mesin pasca revolusi industri, era perburuan minyak, dan era kapitalisme korporasi-multinasional. Empat gelombang era ekonomi tersebut berkarakter eksklusif dan hanya bisa dijangkau oleh kelompok elite tertentu. Zaman milenial sekarang ini merupakan era kelima yang disebut era ekonomi digital. Gelombang ekonomi digital hadir dengan topografi yang landai, terbuka, dan bisa dimasuki oleh kelas sosial manapun. Pada era perekonomian inilah santri milenial berada. Situasi ini merupakan peluang sekaligus tantangan bagi santri milenial.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: