Jejak Santoso Terlacak dari Kelompok Abu Roban

Jejak Santoso Terlacak dari Kelompok Abu Roban

JAKARTA - Para teroris yang tertangkap hidup menjadi sumber informasi penting bagi polisi untuk memburu buron-buron kakap. Salah satunya adalah Santoso alias Abu Wardah. Santoso merupakan dalang penyerangan anggota Brimob di Poso, Sulawesi Tengah, beberapa waktu lalu. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai memaparkan jaringan teroris yang berhasil diungkap kepolisian. ”Ini semua terkait. Santoso, Abu Roban, Abu Umar. Mereka ini satu garis,” katanya dalam diskusi di Jakarta kemarin. Abu Umar merupakan ayah tiri Farhan Mujahidin. Farhan adalah pelaku penembakan pos polisi di Solo yang telah tewas di tangan Densus 88. ”Abu Umar memiliki dua orang kaki tangan. Mereka adalah Abu Roban dan Santoso,” kata Ansyaad. Abu Umar mendalangi peledakan Masjid Istiqlal pada April 1999. Dia juga merencanakan aksi pembunuhan terhadap mantan Wakil Ketua MPR (alm) Matori Abdul Djalil. Ansyaad menjelaskan, dua orang itu punya peran masing-masing. ”Abu Roban merupakan amir mujahidin Indonesia Barat, sementara Santoso merupakan amir mujahidin Indonesia Timur,” ujar pria kelahiran Buton, Sulawesi Tenggara, tersebut. Ansyaad menambahkan, Abu Roban alias Bambang Nangka yang tewas di Batang, Jawa Tengah, 8 Mei lalu merupakan pemain lama. Pemimpin halaqoh Cileduk tersebut menjadi incaran polisi sejak Maret 2012. ”Ada nama-nama baru, tapi selalu pimpinannya lama,” kata mantan Kapolda Sumatera Utara itu. Dia menegaskan bahwa operasi Densus 88 yang mengakibatkan tujuh terduga teroris tewas tertembak beberapa waktu lalu bukan pelanggaran HAM. ”Bagaimana caranya menangkap orang dengan senjata di tangan dan bom di badannya? Apa cipika-cipiki? Ya gak mungkin. Imbuan persuasif itu nonsense,” tegasnya. Sumber Jawa Pos (Radar Cirebon Group) di lingkungan antiteror memastikan nama Santoso alias Abu Wardah masih menjadi buron nomor wahid tim Densus 88. Santoso berbahaya karena dapat mengomando aksi dalam pelarian. ”Dari sisi korban, jelas regu Santoso lebih mematikan. Sudah empat rekan kami di Brimob wafat di Poso,” katanya. Tidak semua operasi Densus berjalan mulus. Dalam penyergapan di kawasan Kiaracondong, Bandung, Kamis sore (9/5), pemilik kontrakan berhasil meloloskan diri. Wakapolri Komjen Nanan Soekarna menyebut penyebab kegagalan itu adalah pemberitaan media massa. Kata Nanan, gerakan senyap yang dilancarkan Densus terendus pelaku karena peliputan media yang gencar. ”Tidak ada sinergi polisi dengan media. Padahal, gerakan itu sangat rahasia,” kata Nanan dalam seminar di Surabaya kemarin. Nanan berharap media mendukung upaya kepolisian memberantas terorisme. Salah satu caranya, tidak memuat berita yang terkesan mendukung pelaku teror. ”Jangan sampai teroris memakai media untuk sarana teror,” tegasnya. Jenderal bintang tiga itu menjelaskan, pihaknya sengaja melancarkan aksi penggerebekan secara serentak di beberapa titik. Di antaranya, di Bandung, Kebumen, Kendal, dan Batang. Strategi itu dilakukan untuk melumpuhkan jaringan gerakan teror. Operasi secara simultan juga bisa mempersempit ruang gerak pelaku teror. Jika dilakukan satu demi satu, pihaknya khawatir penggerebekan tak akan berjalan mulus. ”Salah satunya di Bandung itu lolos karena mereka sudah tahu setelah ada pemberitaan media,” ungkap Nanan. Di bagian lain, DPR menyoroti masih seringnya tindakan tembak mati terduga teroris oleh Densus. Wakil Ketua Komisi III DPR Tjatur Sapto Edy menilai satuan khusus antiteror yang dimiliki Indonesia belum bekerja maksimal. Selain karena tersangka yang ditembak mati belum terbukti keterlibatannya, langkah tersebut merugikan penyidikan lebih lanjut. ”Ini membuktikan Densus belum canggih,” kata Tjatur. Politikus PAN itu mengatakan, tembak di tempat kepada para terduga teroris seharusnya dilakukan bertahap. Yaitu, dimulai dari upaya pelumpuhan. Tembak mati baru bisa dilakukan jika situasi benar-benar mengancam. Itu pun bukan dengan menumpas habis. Pandangan senada disampaikan Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon. Menurut dia, Densus tidak seharusnya royal mengeluarkan peluru panas terkait dengan penangkapan terduga teroris. Prosedur hukum dan HAM harus dikedepankan dalam penanganan dan pemberantasan terorisme. Dia juga mengingatkan agar pemberantasan terorisme tidak berkembang menjadi ”teroristainment”. Menurut dia, operasi terbuka yang bisa diikuti secara langsung oleh media justru bisa menjadi pemicu radikalisme baru. ”Ini bahaya, masyarakat tidak perlu disuguhi teroristainment,” tandas Fadli Zon. (dod/rdl/dyn/mar/c10/ca)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: