Ventilator Tengkurap

Ventilator Tengkurap

MULAILAH berlatih prone --tidur dengan posisi tengkurap. Alias guring batiharap. Kebalikan dari telentang. Prone dan ventilator kini memang jadi pembicaraan di media Barat.

Penderita Covid-19 yang ditolong dengan ventilator justru banyak yang meninggal. Sebaliknya, pasien yang diminta melakukan prone justru banyak terselamatkan. Tidak mudah guring batiharap. Saya juga pernah dilatih khusus untuk mengeluarkan dahak dari saluran pernapasan. Agar setelah transplantasi hati selesai --14 tahun lalu-- dahak tidak masuk paru. Saat itu saya memang harus dianestesi lebih dari 12 jam --operasinya sendiri 8 jam.

Keesokan harinya, ketika saya siuman, instruksi pertama dari perawat ICU adalah: keluarkan dahak. Berhasil. Berkat latihan itu. Kini saya juga latihan prone. Jaga-jaga. Mengapa di pasien Covid-19 ventilator justru membunuh?

Menurut ahli di Barat tiupan oksigen itu justru membuat dahak kian masuk ke paru-paru. Padahal dahak bervirus Corona itulah yang menyebabkan paru buntu --tidak bisa mengalirkan oksigen ke darah. Maka banyak pasien yang akhirnya dibiarkan meninggal tanpa diberi bantuan ventilator.

Bukan lagi soal kekurangan ventilator tapi ventilator tidak banyak membantu --bahkan mempercepat kematian. Media di Amerika banyak memberitakan ini. Apakah dengan demikian universitas-universitas di Indonesia yang lagi mengembangkan teknologi ventilator lokal harus berhenti menjelang finis?

Sekarang ini tidak hanya Masjid Salman ITB yang mengembangkan ventilator: Vent-I. Tapi juga ITS, Politeknik Surabaya, dan UGM. Pun sampai universitas di Sumbawa --Universitas Teknologi Sumbawa yang didirikan Dr Zulkieflimansyah jauh sebelum jadi gubernur NTB.

Lalu apakah pembuatan ventilator non-invasive seperti Vent-I tetap diperlukan? “Harus!,” tegas Dr. dr (dan banyak gelar lainnya) Ike Sri Rejeki dari Bandung. Dr Ike adalah ahli anestesi dan perawatan intens. Dia mengepalai departemen itu di RS Hasan Sadikin. Juga mengepalai bidang studi itu di Universitas Padjadjaran. Dr Ike juga pemimpin redaksi Jurnal Anestesi Perioperatif.

Saya bingung menebak orang mana dia. “Ike itu kan nama Sunda. Tapi Sri Rejeki nama Jawa. Dokter ini orang mana?” tanya saya. “Hahaha orang Indonesia Pak,” jawabnyi. “Saya Sunda 100 persen, hanya bapak ibu saya lama di Jogja,” tambahnyi.

Dia juga asli Unpad 100 persen. Gelar dokter, spesialis, master, doktor, dan saya tidak hafal, semua diraih di Unpad. Dan yang pasti dokter Ike adalah \'Ketua RT\' di ICU. Dia akrab dengan batang seperti ventilator.

Ventilator yang sekarang lagi ramai diperbincangkan di Amerika itu adalah yang sifatnya invasive. Yakni ventilator yang biasanya ada di ruang ICU. Yang penggunaannya harus melalui pembuatan lubang di tenggorokan. Dari lubang tenggorokan itulah selangnya dimasukkan ke saluran pernapasan.

Saya juga pernah menjalani itu. Saat transplantasi dulu itu. Itu tidak sama dengan yang sekarang coba dikembangkan di berbagai perguruan tinggi tersebut. Yang lagi dikembangkan itu adalah ventilator non-invasive. Yang tidak pakai perlubangan tenggorokan. Hanya lewat hidung. “Itu sangat bermanfaat untuk situasi sekarang,” ujar dr Ike.

Justru alat seperti itu yang belum dimiliki oleh rumah-rumah sakit. Yakni ventilator non-invasive yang independen. Memang RS kita juga memilikinya. Tapi fungsi itu menyatu di alat ventilator invasive. Yang, ehm, yang mahal itu. Dan yang harus ditempatkan di ruang ICU itu.

Di alat itu ada mode invasive dan mode non-invasive. Sebaiknya, kata dr Ike, penanganan pasien saat ini harus lebih fokus di stage II. Itu disebut juga tahap sedang (moderate). “Agar pasien tidak jatuh ke stage III,” ujar dr Ike. Kalau sudah masuk tahap III (severe) penanganannya harus di ICU dan lebih sulit.

“Salah satu usaha di tahap II ini adalah ventilator non-invasive itu,” ujar dr Ike. “Itu bisa mencegah hipoksemia,” tambahnyi. Hipoksemia adalah sesak napas akibat kurangnya oksigen dalam saluran darah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: