Super Tembaga

Super Tembaga

Djohan Aping adalah orang asli Bangka. Nama sebenarnya: Djohan Riduan Hasan. Buyutnya pun sudah lahir di Bangka. Ia anak ke-8 dari sembilan bersaudara. Keuletannya muncul lantaran ayahnya meninggal ketika ia baru berumur 3 tahun.

Sejak kecil ia sudah harus jualan kue bikinan ibunya: piang nanas. Saya belum pernah mendengar nama kue itu --apalagi merasakan enaknya. Ketika pak Djohan menyebut nama “piang nanas” saya minta diulang tiga kali: agar tidak salah menuliskannya.

Dari jualan itu pula ia bisa kuliah di Tarumanegara Jakarta. Jurusan teknik mesin. Lalu bekerja di perusahaan spare part di Jakarta. Tahun 1997 ia pulang ke Bangka. Bikin smelter tambang timah. Sepuluh tahun kemudian Djohan merintis kebun sawit di Bangka. “Puluhan perusahaan Jakarta dan Malaysia punya kebun sawit di Bangka. Kok saya yang putra Bangka tidak punya,” katanya saat itu.

Kini Djohan punya 5.000 hektare kebun sawit. Juga mendirikan satu PKS berkapasitas 30 ton/hari. Pabrik kepala sawitnya itu tergolong kecil di sana. Dari kebun sawit itu Djohan memikirkan kebun durian. Itu karena ia tahu durian Bangka tidak ada duanya. Khususnya yang dua jenis tadi: namlong dan super tembaga.
“Saya dengar Pak Djohan sudah punya 500 hektare kebun durian…” tanya saya. “Baru 200 hektare,” katanya. ”Pelan-pelan,” tambahnya merendah. Memang targetnya sampai 500 hektare. Tidak lama lagi. Rasanya akan berhasil. Ia pun sudah memiliki kebun pembibitan sendiri. Yang tidak sesederhana pembibitan kelapa sawit. “Target kami Bangka harus memiliki 5.000 sampai 8.000 hektare kebun durian,” ujar Gubernur Elzardi. “Termasuk kebun milik masyarakat,” tambah Gubernur.

Saat ini, ujar Pak Elzardi, Bangka sudah memiliki 800 hektare kebun durian. “Teman saya sudah ada yang punya 500 hektare,” ujar Pak Djohan. Djohan kini fasih sekali bicara durian. Termasuk bisa mengungkap rahasia di balik keistimewaan durian Bangka.

Tanah Bangka, katanya, adalah tanah tambang. Khususnya timah dan tembaga. Itulah yang tidak dimiliki propinsi lain. Hanya saja tanah seperti itu kurang unsur makronya. “Tapi unsur makro, seperti N, P, K, bisa ditambahkan,” ujar Djohan.

Dengan demikian tanah mineral tersebut menjadi pembeda dari wilayah lain. “Jangankan durian,” ujar Djohan. “Petai dari Bangka ini baunya baru hilang setelah dua hari,” lanjutnya. Juga jengkol. “Makan jengkol Bangka bisa benar-benar jengkolen,” katanya.

Saya tidak tahu apa itu jengkolen. Tapi saya akan bisa bertanya ke istri saya. Yang begitu sering merebus jengkol satu panci --dimakan sendiri. Walhasil, tanah Bangka itulah kuncinya.

Mungkin mirip tanah daerah Ipoh dan sekitarnya, Malaysia. Yang di masa lalu juga pusat tambang timah --sekaligus kini menjadi pusat musang king.

Bangka akan membayar dendam lama kita: agar Indonesia bisa ekspor buah tropik secara besar-besaran ke utara sana. Sebagai senjata pengimbang neraca perdagangan kita. Duluuuuuu, orang dari utara membanjir ke Bangka. Kelak, ganti durian Bangka akan mengalir ke utara. (dahlan iskan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: