'Pemilu Sayang Anak' Maju Terus, MK Beri Peluang Walikota Gibran jadi Cawapres Pilpres 2024
!['Pemilu Sayang Anak' Maju Terus, MK Beri Peluang Walikota Gibran jadi Cawapres Pilpres 2024](https://radarcirebon.disway.id/upload/f535e4332b6ed1d3ae2f62a8c30ab194.jpg)
Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka dikabarkan terbang ke Jakarta menjelang pengumuman cawapres dari Prabowo Subianto.-Ist-radarcirebon.com
BACA JUGA:Soal Rumor TikTok Shop Buka Kembali, Zulhas: Kalau Dia Mau Urus Izinnya, Silahkan
Pria yang akrab dipanggil Datuk ini menjelaskan, bagi negara-negara dengan sistem parlementer atau kerajaan tidak menjadi soal mengenai kapabilitas dan kapasitas Presiden/Raja. Hal ini dikarenakan ada Perdana Menteri (PM) yang akan mengendalikan jalannya roda pemerintahan dan memimpin para menteri di kabinet.
Tapi bagaimana di negara dengan sistem presidensil? Seperti Republik Indonesia, di mana presiden selain sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan yang mengendalikan roda pemerintahan dan memimpin para menteri di kabinet.
Dia pun mengajak para profesor, doktor, akademisi, ahli tata kelola pemerintahan, ahli hukum tata negara, ahli hubungan internasional, ahli strategi pertahanan dan pemangku kepentingan lainnya di negeri ini, untuk berpikir kritis.
Tidak harus selalu membebek pada kepentingan keberlanjutan kekuasaan, yang oleh Datuk disebut Dinasti Jokowi. Yang mendorong pesta “Pemilu Sayang Anak”. Di zaman Orde Baru saja, cara seperti ini ditentang habis-habisan sehingga melahirkan Reformasi.
BACA JUGA:Pilwu Desa Kondangsari Tercoreng, Terjadi Gesekan saat Kampanye
Tapi Datuk pun pesimis. Sebab para aktivis dan pejuang reformasi yang pada tahun 1997-1998 berjuang dan dengan lantang menyuarakan menentang kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN), kini setelah berkuasa malah mendukung “Pemilu Sayang Anak”.
Melihat kondisi pengelolaan ketatanegaraan/pemerintahan sekarang, dia pun teringat artikel/opini yang ditulis budayawan Emha Ainun Najib di Harian Kompas edisi Minggu 4 Mei 2003. Artikel itu berjudul “Pantat Inul adalah Wajah Kita Semua”.
Intinya pesan moral yang ingin disampaikan bahwa para pemimpin dan rakyat Indonesia adalah hipokrit. Sikap kemunafikan yang secara terbuka memiliki sikap atau bertingkah laku tertentu, tetapi kemudian bertindak dengan cara tidak konsisten dengan sikap atau tingkah laku tersebut.
“Kalau masyarakat awam menyebutnya, pagi kedele, siang tempe dan malam sudah menjadi oncom,” sebut Datuk.
BACA JUGA:Lawan Brunei Darussalam, Timnas Indonesia Bakal Terapkan Strategi Ini
Tahun 1990 pun, budayawan Muchtar Lubis dalam bukunya “Manusia Indonesia”, juga sudah menulis enam sifat bangsa Indonesia yang satu di antaranya adalah hipokrit (munafik) dan feodal. Sikap-sikap feodalisme dapat dilihat dari pemerintah dalam urusan jabatan, banyak yang mengutamakan hubungan atau kedekatan ketimbang kecakapan, pengalaman, maupun pengetahuannya.
Jiwa feodal ini tumbuh subur tak hanya di kalangan atas, namun juga bawah. Bahkan masalah feodalisme dijalankan para pemimpin kita secara optimal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik ‘bagi kursi’ atau bagi-bagi jabatan yang terjadi dalam kancah politik Indonesia adalah salah satu bentuknya.
“Singkat kata saya jadi curiga, apa memang para pemimpin parpol, para hakim MK, profesor, doktor, akademisi, ahli tata kelola pemerintahan, ahli hukum tata negara, ahli hubungan internasional, ahli strategi pertahanan dan pemangku kepentingan lainnya di negeri ini tidak peduli negara ini?” Tanya Datuk lagi.
Jika sudah begitu, Datuk pun menyitir novel berjudul “Ghost Fleet”? Novel yang menjadi bacaan wajib petinggi militer AS ini, bukan hanya bercerita tentang Perang Amerika-Tiongkok.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: