Kisah Perjuangan KH Abdul Chalim Leuwimunding, Terinspirasi Peristiwa Cimareme Kemudian ke Batavia

Selain korban tewas dihantam bedil marsose Belanda, keluarga dan pengikut H Hasan yang salamat dipenjarakan.

Kisah ini sampai kepada Abdul Chalim muda. Muncul semangatnya untuk melakukan perlawanan kepada pemerintah kolonial Belanda.

BACA JUGA:Jelang Pemilu 2024, 3 Pilar Penjaga Kondusifitas Kota Cirebon Patroli hingga Malam

BACA JUGA:Briptu Renita Rismayanti, Sosok Polisi Wanita Indonesia yang Diganjar Penghargaan oleh PBB

Namun demikian, perjuangan KH Abdul Chalim dilakukan dengan penuh prhitungan. 

Sekitar dua tahun setelah peristiwa Cimareme, Abdul Chalim menikah dengan Hj Siti Noor, gadis asal Pasirmuncang. Kemudian berhenti dari pekerjaan juru tulis Kawedanan Leuwimunding.

Pada akhir tahun 1921 KH Abdul Chalim memutuskan hijrah ke Batavia (Jakarta). 

Sambil mengamati situasi dan kondisi Batavia dari dekat, Kiai Abdul Chalim bekerja sebagai buruh kereta api Kramat Jati sambil mengajar anak-anak mengaji 

BACA JUGA:Inilah Pesan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Dihari Diabetes Sedunia

BACA JUGA:Kalahkan Maroko, Ekuador Punya Peluang Lolos 16 Besar Piala Dunia U-17 2023

Pada tahun 1922, Buyut Kedung Wangsagama, ayah Kiai Abdul Chalim, wafat di Leuwimunding, Majalengka.

Setelah dirasa cukup di Jayakarta, beliau kembali ke Majalengka bersamaan dengan ayahnya yang wafat pada tahun 1922.

Peristiwa ini membuat Kiai Abdul Chalim pulang kampung. Namun demikian, dia tidak menggabungkan diri dengan pergerakan para pejuang di wilayah Majalengka.

KH Abdul Chalim Leuwimunding justru memilih kembali hijrah. Kali ini ke Surabaya, Jawa Timur. Keputusannya ini atas saran dari Syekh Sulaiman Pajajar.

Maka, Kiai Abdul Chalim membulatkan tekadnya. Berjalan kaki selama 14 hari menuju Surabaya. Bekalnya hanya kitab, sarung dan kunyit.

Sumber: