Pondok Pesantren Gedongan Mengadakan Bedah Buku Radikalisme di Media Sosial: Say No to Radicalism!

Pondok Pesantren Gedongan Mengadakan Bedah Buku Radikalisme di Media Sosial: Say No to Radicalism!

Pondok Pesantren Gedongan mengadakan bedah buku Radikalisme di Media Sosial.-Foto: dokumentasi pribadi.-radarcirebon.com

GEDONGAN, RADARCIREBON.COM - Pondok Pesantren GEDONGAN mengadakan bedah buku Radikalisme di Media Sosial pada Jum'at lalu (19/1). Acara yang dihadiri oleh ribuan santri dan ratusan pegawai kementerian agama se-Kabupaten dan Kota Cirebon mengundang narasumber Dr. H. Nuruzzaman, M. Si selaku Kadensus 88, Jenderal Polisi R. Ahmad Nurwahid selaku Direktur Pencegahan BNPT RI.

KH Imron Rosyadi dalam sambutan mewakili sesepuh Ponpes Gedongan menuturkan mohon acara di kesempatan ini sekaligus reuni keluarga.

"Ini adalah reuni keluarga, karena kang zaman (Dr. Nuruzzaman) orang sini," ucapnya.   

Kepala kantor Kementerian Agama Kabupaten Cirebon, H. Saepudin Jazuli, M. Si menyampaikan bahwa dari desa ini ternyata banyak muncul tokoh-tokoh penting yang kontribusinya dalam kehidupan bangsa dan negara sangat hebat dan luar biasa.

BACA JUGA: 5 Cara Setting Spray yang Bikin Makeup Wanita Karier Tahan Lebih Lama

“Saya adalah santri Lirboyo dulu dan saya kira punya berkahnya K.H. Mahrus Ali yang asli berasal dari Gedongan juga, jadi di samping mencari ilmu, kita semua mencari tabarrukan,” kata Saepudin.

Dirinya juga menyebut tentang radikalisme bahwa radikalisme adalah satu langkah lagi menuju terorisme.

Sementara narasumber Kang Zaman, sapaan akrab stafsus Menteri Agama RI yang juga penulis buku itu menyebut bahwa media sosial hari ini sesuatu yang sangat luar biasa dahsyat dan hebat.

“Awal tahun 2000 kita mengenal namanya arab spring, arab spring itu runtuhnya Tunisia, Irak, Mesir, Yaman dan Libya, karena media sosial," ujarnya.

BACA JUGA: Keren! Mundupesisir Ditetapkan Desa Wisata Bahari oleh KKP RI

Kang Zaman juga menyebut ada 30 juta di Indonesia ini new muslim urban, orang Islam baru perkotaan, cirinya tinggal di perkotaan, kelas menengah, tentu terdidik dan secara ekonomi kuat, pengetahuan agamanya rendah, semangat beragamanya tinggi.

“30 juta new urban ini yang kita kenal sebagai kelompok hijrah di kota-kota. Mereka tidak belajar ke pesantren atau kiai-kiai, tapi mereka belajar ke media sosial,” ujarnya.

Kang Zaman juga menjelaskan bahwa menurut penelitian BNPT dan Densus, konten media sosial keagamaan di Indonesia 67% isinya intoleran dan radikal. Dirinya mengharapkan dari ditulisnya buku ini mendorong kiai, ustadz dan para santri untuk menjadi pegiat media sosial.

“Bayangkan, ketika orang belajar agama di media sosial, karena kiai-kiai, ustadz-ustadz, atau santri tidak aktif di media sosial. Maka, umat Islam akan diambil alih oleh kelompok-kelompok lain, yang pemahaman keagamaannya jauh berbeda dari pemahaman keagamaan pesantren,” jelas kang Zaman.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: