Menjaga Optimisme Dahlan

Menjaga Optimisme Dahlan

IZINKAN saya menjuluki Dahlan Iskan sebagai maverick, si pendobrak yang militan. Subjektif, tapi tentu tak berlebihan. Realitasnya, saat Ir Joko Widodo (Jokowi) sebagai walikota Solo samar-samar mulai menyeruak ke publik dengan citra kerakyatan yang mendobrak tradisi pemerintahan dan birokrasi, bos Jawa Pos Group itu telah lebih dulu melakukannya. Bedanya, diakui atau tidak Jokowi memiliki bakat politisi yang dalam kondisi tertentu punya kecenderungan ber-manuver atau beradaptasi dengan lingkungan (politik), sedangkan Dahlan sebaliknya. Ia tak punya bakat politisi dan cenderung susah berkompromi, termasuk dengan sistem yang dianggap menghambat birokrasi dan akselerasi pembangunan. Terutama saat ia memimpin lembaga-lembaga yang terafiliasi dengan pemerintahan, mulai dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Panca Wira Usaha (PWU) Provinsi Jawa Timur, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), hingga Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tapi sayang, pasca memimpin institusi-institusi tersebut, Dahlan malah dihadang masalah hukum. Di antara yang menonjol adalah dugaan korupsi mobil listrik saat memimpin Kementerian BUMN dan revitalisasi aset kala memimpin BUMD PT PWU. Banyak yang sanksi, sebab selama bekerja masyarakat percaya, karena Dahlan menunjukkan komitmen antikorupsinya. Bahkan saat menjadi direktur utama PT PWU, PT PLN, dan menteri BUMN, patriotismenya menginspirasi dengan tak mengambil gaji yang disediakan negara. Baginya, sebagai anak bangsa bekerja untuk negara (rakyat) adalah pengabdian nan tulus. Melihat besarnya trust rakyat, wajar bila spekulasi muncul bahwa jeratan hukum atas Dahlan karena dua kemungkinan, pertama reaksi balik dari sejumlah ”musuh” atas sikap antikompromi dan antikorupsinya saat menjabat atau kedua sistem hukum kita yang mempersoalkan cara, tanpa melihat tujuan (hasil). Namun, apapun yang terjadi, sebagai penganut ajaran optimisme Dahlan, saya yakin mantan jurnalis itu tetaplah optimis apa yang dialami adalah fenomena hukum yang memberikan pembelajaran untuk perbaikan sistem dan penegakan hukumnya. OPTIMISME DAHLAN Meski telah lewat hampir satu dasawarsa, kalimat-kalimat optimisme Dahlan melekat kuat diingatan. Masih sangat jelas saat ia meneguhkan semangat kerja anak buahnya. Di meja rapat Radar Cirebon yang masih diposisikan sekenanya, sebab saat itu baru pindahan kantor ke Jalan Perjuangan, Kota Cirebon saya beruntung bisa mendengar langsung ajaran optimismenya. Dengan suara khas kurang lebih Dahlan mengatakan, prinsip hidup harus diubah, jangan kerja keras dulu baru optimis. Sebaliknya, harus optimis dulu baru kerja keras. Sebab, sikap optimis akan menggerakkan syaraf tertentu di dalam tubuh untuk selalu (lebih) bersemangat dalam bekerja. Tak sedikit orang bekerja keras didasari rasa takut pada atasan, yang pada akhirnya justru melahirkan pesimisme. Optimisme adalah kata kunci yang diyakini bisa menggerakkan kerja sel dalam tubuh lebih dinamis dan confidence, sehingga bisa mengantarkan pada keberhasilan. Pesan tersebut mengisyaratkan bahwa optimisme harus melahirkan kerja keras. Karena optimisme tanpa kesungguh-sungguhan kerja adalah omong kosong. Tidak hanya menjadi fatwa untuk para karyawan di perusahaan-perusahaannya, Dahlan juga menebar virus optimisme kepada anak buahnya di lembaga-lembaga milik negara yang pernah dipimpin. Bahkan saat image sebagai pendobrak begitu kuat, terutama ketika memimpin Kementerian BUMN, salahsatu putra terbaik Magetan, Jawa Timur itu hampir rutin mentransformasikan isme optimisnya kepada para mahasiswa di berbagai kampus, dari ujung Aceh hingga wilayah timur Indonesia. MENJAGA OPTIMISME Dari sekian banyak ajaran optimisme yang disampaikan Dahlan, tema tentang demokrasi dan ekonomi lebih banyak dan menarik untuk diikuti. Keduanya dianggap elemen penentu masa depan bangsa. Jika indeks demokrasi terus membaik, maka berbanding lurus dengan naiknya grafik pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, jika demokrasi lemah atau dilemahkan, maka ekonomi suatu negara juga lemah. Demokrasi dan politik akan membaik. Itu keyakinan Dahlan. Keyakinan itu didasari atas tren positif dari proses dan hasil (produk) demokrasi yang di beberapa sisi makin akomodatif terhadap kehendak rakyat. Meskipun masih banyak sisi lain yang timpang, namun terus terkikis oleh kesadaran rakyat. Hingga hari ini politik kita memang masih dihadapkan dengan kecenderungan partai yang sentralistik, namun kondisinya akan terus membaik. Itu optimisme Dahlan. Optimisme yang sejauh ini realistis, karena faktanya kesadaran masyarakat dalam dimensi politik, meskipun berjalan lambat, tapi terus meningkat. Kesadaran itulah yang akan memaksa partai agar tak lagi setengah hati menjalankan politik desentralistik. Indonesia juga akan menjadi negara maju di tahun 2027. Ini juga ramalan Dahlan yang optimistik. Analisa Dahlan didasarkan atas tren positif pertumbuhan dan stabilitas ekonomi Indonesia, terutama sejak era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang dikuatkan dengan kepastian hukum, kondusivitas politik serta keamanan dan kenyamanan dalam berinvestasi. Pertanyaannya, mungkinkah Indonesia akan mencapai kemajuan, sementara kepercayaan publik makin runtuh oleh terbongkarnya berbagai skandal korupsi di banyak lembaga negara dan kecenderungan upaya pelemahan hukum oleh aparat penegaknya sendiri? Dahlan tetap optimis. Makin banyak pejabat yang dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), makin bertambah energi optimis Dahlan. Justru komitmen kepastian hukum itu dianggap sebagai indikator yang menjamin kondisi makin membaik, karena pemberantasan korupsi adalah kehendak rakyat. Walaupun tantangannya sangat berat, berhadapan dengan budaya culas para oknum yang cenderung melemahkan penegakan hukum itu sendiri. Lalu bagaimana cara menjaga dan mewujudkan optimisme Dahlan? Masih ingat saat Dahlan menginisiasi mobil listrik dan mimpinya agar Indonesia bisa memproduksinya secara masal di tengah-tengah ramainya wacana membangun mobil nasional (mobnas) berbahan bakar minyak (BBM) saat itu? Kenapa Dahlan begitu antusias terhadap gagasannya untuk mengembangkan mobil listrik? Dahlan tegas menolak gagasan membangun mobnas yang digerakkan BBM, karena dianggap sudah ketinggalan ratusan tahun bila hendak berkompetisi dengan negara maju yang telah memproduksi mobil dengan bahan bakar sama. Jika hendak bersaing, maka harus jadi produsen mobil listrik, karena itu artinya Indonesia berada di start yang sama dengan negara-negara maju penginisiasi mobil masa depan. Di luar kontroversi masalah hukum yang menghadang mobil listrik, inisiatif Dahlan menunjukkan optimisme dan visi besar yang futuristik. Di situlah kata kuncinya. Untuk maju, bangsa ini butuh banyak visi besar dari orang-orang optimis dan pekerja keras seperti Dahlan. Meski kembali diuji oleh realitas hukum di negeri ini, namun optimismenya tidak boleh mati. Karena itu, untuk menjaga optimisme Dahlan dalam mewujudkan kemajuan demokrasi dan ekonomi, butuh sepuluh, seratus, seribu, bahkan sejuta penganut isme optimis yang pekerja keras dan visioner. (*) *Penulis Adalah Ketua Yayasan Banonjati dan Majelis Pertimbangan Karang Taruna (MPKT) Kabupaten Cirebon

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: