Pendidikan Politik dan Pemilu Disabilitas

Pendidikan Politik dan Pemilu Disabilitas

MASIH kurang maksimalnya partisipasi masyarakat menjalankan hak pilihnya masih menjadi pekerjaan rumah yang serius bagi penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)—untuk di tingkat Kabupaten/Kota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Seperti pada pemilu 2014 silam, di mana partisipasi pemilu legislatif hanya 70 persen. Sementara pemilu presiden di bawah 70 persen. Padahal semakin tinggi partisipasi menunjukkan tingginya legitimasi proses politik, sekaligus merefleksikan kualitas pemilu tersebut. Sebagai solusi untuk mengatasi problematika tersebut, harus ada terobosan baik oleh penyelenggara pemilu maupun stakeholders (para pemangku kepentingan) terkait yang ada baik pemerintah, kampus, LSM, masyarakat, dan seluruh elemen civil society yang ada. Upaya peningkatan kesadaran tentang kepemiluan kepada masyarakat khususnya pemilih pemula (young voters) itu sebagai keharusan sekaligus mendorong upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam mengawasi pemilu untuk memberikan jaminan kualitas tersebut. Dari kajian penulis, setidaknya ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk terus meningkatkan kualitas pemilu. Pertama, mengupayakan peningkatan kesadaran kepemiluan dengan pendidikan politik para pemilih. Kedua, meningkatkan partisipasi masyarakat melaporkan segala bentuk pelanggaran pemilu dengan pelibatan civil society. Ketiga, meningkatkan seluas-luasnya partisipasi pemilih dengan memberi kesempatan kepada semua pihak termasuk penyandang disabilitas. Keempat, menjalin kerja sama terpadu selain dengan sesama penyelenggara pemilu yakni KPU juga dengan mahasiswa/kampus, pemerintah, pemuda, OKP, LSM, tokoh masyarakat, tokoh agama dan stakeholders lainnya dalam pencegahan pelanggaran pemilu. Kelima, memproses seluruh pengaduan dan pelaporan pelanggaran pemilu, baik pidana, administratif maupun etik secara adil, cepat dan imparsial. PENDIDIKAN POLITIK Alasan mendasar mengapa mengutamakan kesadaran kepemiluan hal ini dimaksudkan, selain titik tekan pengawasan pemilu lebih mengedepankan aspek pencegahan. Maka, untuk menunjang keberhasilan dalam pencegahan tersebut masyarakat harus well informed. Masyarakat harus diinformasikan dengan baik agar memahami dengan sebaik-baiknya tentang regulasi dan aturan-aturan mendasar tentang pelaksanaan pemilu. Setelah masyarakat memahami urgensi partisipasi dalam pemilu, termasuk pengawasannya selanjutnya diharapkan akan menggerakkan sebanyak-banyaknya peran stakeholders untuk bersama-sama melakukan pengawasan dalam pemilu. Salah satu caranya dengan melakukan pendidikan politik. Pendidikan politik yang dimaksud, selain melibatkan lembaga-lembaga pendidikan formal juga melibatkan lembaga-lembaga nonformal. Hal ini sebagaimana disampaikan Guru Besar Etika dan Politik UPI, Endang Sumantri (2017) bahwa pendidikan politik sangat penting bagi pendewasaan masyarakat di Indonesia. Termasuk di antaranya dalam forum-forum kelompok sosial untuk memahamkan arti penting penggunaan hak politik bagi setiap warga negara sesuai dengan undang-undang. Terlebih lagi, dari angka 305.037 daftar pemilih tetap (DPT) 30% di antaranya adalah pemula, yang terdiri dari pemilih berusia 17 tahun dan pensiunan TNI dan Polri yang memiliki hak pilih. PENGAWASAN MASYARAKAT Dengan melakukan upaya meningkatkan kesadaran kepemiluan kepada masyarakat, diharapkan akan tumbuh sikap tanggung jawab untuk menjaga pemilu yang demokratis. Dalam hal ini, pengawasan masyarakat akan sangat membantu agar pelaksanaan pemilu berlangsung jujur, adil dan bermartabat. Sejumlah langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melaporkan setiap pelanggaran, ialah dengan membuka akses. Baik akses secara offline (pengaduan langsung) ke panwaslu maupun secara online melalui hotline khusus baik menggunakan email, website, SMS, social media, serta media lainnya yang dimungkinkan dengan tetap mengedepankan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Di samping itu, melakukan kerjasama dengan civil society termasuk dengan melakukan perjanjian kerjasama untuk bersama-sama mewujudkan pemilu yang demokratis diharapkan akan semakin menguatkan komitmen. Kolaborasi yang dibangun secara lebih luas diharapkan akan mendorong pelaksanaan pemilu yang berkualitas. PEMILU BAGI DISABILITAS Sebagai tolok ukur kualitas pemilu ialah bagaimana mendorong semaksimal mungkin partisipasi pemilih. Bawaslu/Panwaslu juga harus berperan aktif dalam meningkatkan partisipasi politik ini. Memberikan ruang kepada seluruh pemegang hak pilih termasuk penyandang disabilitas dengan Pemilu Akses. Hal ini sejalan juga dengan pemenuhan hak politik penyandang disabilitas sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Salah satu wujud implementasi terwujudnya Pemilu Akses, didukung oleh Bawaslu dengan terbitnya Surat Instruksi dari Bawaslu pada bulan September tahun 2015 Perihal Pengawasan hak akses dan layanan bagi pemilih disabilitas dalam Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota. Pemenuhan hak politik penyandang disabilitas ini selain diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Kesamaan Kesempatan adalah keadaan yang memberikan peluang dan/atau menyediakan akses kepada Penyandang Disabilitas untuk menyalurkan potensi dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat, juga diatur dalam pasal Pasal 13 bahwa Hak politik untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak: (a). memilih dan dipilih dalam jabatan publik; (b). menyalurkan aspirasi politik baik tertulis maupun lisan; (c). memilih partai politik dan/atau individu yang menjadi peserta dalam pemilihan umum; (d). membentuk, menjadi anggota, dan/atau pengurus organisasi masyarakat dan/atau partai politik; (e). membentuk dan bergabung dalam organisasi Penyandang Disabilitas dan untuk mewakili Penyandang Disabilitas pada tingkat lokal, nasional, dan internasional; (f). berperan serta secara aktif dalam sistem pemilihan umum pada semua tahap dan/atau bagian penyelenggaraannya; (g). memperoleh Aksesibilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain; dan (h). memperoleh pendidikan politik. KERJA SAMA DAN SINERGI Untuk mengatasi keterbatasan SDM yang ada pada lembaga Bawaslu/Panwaslu Kota Cirebon, maka langkah kerja sama harus dibangun. Untuk mensinergikan seluruh elemen masyarakat, pemerintah, TNI dan Polri, akademisi kampus, sekolah, kelompok agama, budaya, pemuda dan seluruh stakeholders lainnya harus terjalin kerja sama yang baik untuk membangun spirit mencegah segala bentuk pelanggaran pemilu. Sebab, sehebat apa pun sistem yang dibuat selama users—atau meminjam istilah dari teori strukturasi Anthony Giddens—disebut sebagai agen, jika tidak berperan aktif, maka upaya untuk mewujudkan pemilu yang demokratis, bermartabat dan berkualitas tersebut akan sulit untuk diwujudkan. Sebagai pedoman agar masing-masing penyelenggara pemilu tidak saling sikut dan overlapping maka panwaslu harus dapat memegang teguh Kode Etik sesuai dengan Peraturan Bersama Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2012; Nomor 11 Tahun 2012; Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum. Sehingga masing-masing pihak dapat menjalankan tugas pokok dan fungsinya dengan tetap saling menghormati, memegang tegus asas keadilan dan tetap berpegang teguh kepada Pancasila dan UUD 1945 serta peraturan perundang-undangan lainnya. PENANGANAN TUNTAS Salah satu yang menjadi problem dalam hal menjaga kepercayaan publik/masyarakat kepada penyelenggara pemilu di antaranya sejauhmana responsibilitas, ketepatan mengambil keputusan sesuai perangkat peraturan dan perundang-undangan pemilu serta kecepatan dalam memproses segala bentuk pelanggaran tersebut. Artinya, selain mengikuti standar operasional prosedur (SOP) yang ada, menjaga hak semua pihak termasuk masyarakat pelapor juga menjadi hal yang utama. Sudah pasti, hal ini menjadi ujian integritas dari setiap anggota Bawaslu dan Panwaslu dalam menjalankan tugasnya. Pemilu sebagai instrumen suksesi yang damai sesuai UU dalam mempertahankan/mengganti Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD, DPRD, Gubernur dan Wakil Gubernur serta Bupati dan Wakil Bupati/Walikota dan Wakil Walikota akan menjadi indikator bagaimana kedewasaan berpolitik seluruh rakyat Indonesia dalam menjalankan kedaulatannya. Maka, untuk tercapainya pemilu yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia (Luber) jujur dan adil (Jurdil), menuntut kesungguhan dari penyelenggara pemilu, KPU dan Bawaslu untuk menjalankan perannya dengan baik. Bawaslu yang dalam UU Pemilu baru akan semakin diperluas. Di mana keberadaan Panwaslu ke depan akan menjadi sebuah lembaga pengawas yang permanen dan mandiri diharapkan akan semakin meningkatkan kualitas pengawasan dalam pemilu, selain keberadaannya pun menjadi prasyarat universal dari pemilu yang demokratis. Tentunya, untuk pencapaian visi “Terwujudnya Bawaslu sebagai Lembaga Pengawal Terpercaya dalam Penyelenggaraan Pemilu Demokratis, Bermartabat, dan Berkualitas”, harus didukung SDM yang berintegritas dan memiliki kapasitas di semua tingkatannya. Terakhir, Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu di bidang pengawasan akan semakin kuat dalam menjalankan fungsinya jika terus diperkuat kewenangan dan keberadaannya. Dengan semangat untuk mewujudkan pemilu yang berkualitas semoga para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pemilu, turut mendukungnya. (*) *Penulis, Calon Anggota Komisioner Panwaslu Kota Cirebon dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Pengetahuan Sosial UPI Bandung.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: