Paradoks Menjelang Pemilihan Umum 2019

Paradoks Menjelang Pemilihan Umum 2019

PARADOKS adalah bagian dari kehidupan, apalagi dalam politik yang penuh dengan intriks. Menjelang Pemilu 2019 yang diikuti dua kontestan yaitu pasangan Jokowi-Ma’ruf yang merupakan calon pertahana (incumbent) dengan nomor 01 dan pasangan Parabowo-Sandiaga Uno, calon dengan nomor 02, telah melahirkan paradoks-paradoks politik dalam masyarakat. Paradoks itu tersebar melalui berbagai media massa, kegiatan-kegiatan massal, dan media sosial, seperti Islam-anti Islam, PKI-anti PKI, Pro Asing-anti asing, radikal-liberal,  dan lainnya. Paradoks-paradoks ini di satu sisi menciptakan kritisisme masyarakat dalam menilai dan menganalisis berbagai isu-isu kontradiktif yang berkembang. Sehingga mendorong masyarakat untuk mengetahui lebih jauh dan dalam dengan varian berbagai sumber informasi dan pengetahuan, bahkan upaya mendiskusikan bersama, seminar dan penelitian. Di sisi lain paradoks-paradoks politik ini cenderung menggiring masyarkat untuk “saling tidak percaya” dan ujungnya adalah fitnah dan konflik. Dan dipastikan menjelang Pemilu ini, paradoks-paradoks politik akan memenuhi proses sosialisasi dan kampanye kedua belah pihak paslon 01 ataupun paslon 02 untuk memenangkan kursi kepresidenan. OPTIMISME DAN PESIMISME Optimisme  dan pesimisme masyarakat terhadap proses, hasil dan efek dari pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan legislatif (Pileg) tahun 2019 ini, yang diadakan secara serentak menjadi topik diskusi dan pembicaraan, baik di tempat-tempat umum, ruang khusus, dan yang lebih dahsyat adalah di media sosial. Dan yang unik, dua tema besar ini seolah-olah mewakili dua calon presiden dan calon wakil presiden yang bertanding dalam perhelatan pemilu mendatang. Optimisme sering disampaikan oleh pasangan 01 Jokowi-Ma’ruf Amin, sedangkan pesimisme sering dikumandangkan pasangan 02 Prabowo-Sandiaga Uno.  Optimisme pasangan 01  didasarkan pada prestasi dan pengalaman  yang sudah dilakukan pemerintah selama ini, sehingga calon pertahana (incumbent) percaya diri untuk melanjutkan kerja-kerja dan pembangunan yang sudah dilaksanakan untuk Indonesia maju. Sementara pesimisme pasangan 01 didasarkan kepada kekurangan dan kelemahan yang telah dilakukan calon pertahana (incumbent). Bagi paslon 02 dan timnya, membongkar kekurangan dan kelemahan pertahana menjadi senjata untuk meruntuhkan dukungan dan suara kepada pertahana,  dan menuai  dukungan dan mendulang suara baginya. Memang dalam politik tidak ada kawan dan lawan yang abadi, tetapi kepentingan abadi.  Problem paradoks ini adalah validitas data yang digunakan kedua paslon dan bahasa yang digunakannya. Seandainya saja kedua paslon dengan seluruh timnya menggunakan data yang valid dan bahasa yang baik, maka dipastikan tidak akan terjadi “saling curiga”, “saling menyalahkan”, “saling memfitnah”, “saling mengkhianati” dan lainnya. Bahkan akan sebaliknya, saling mengisi dan melengkapi. INTEGRASI NASIONALIS RELIGIUS Sejak partai-partai yang terlibat dalam Pemilu di negara ini difusikan menjadi 3 partai yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan rumah besar partai nasionalis, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjadi rumah besar partai-partai berbasis agama (Islam) dan Golongan Karya (Golkar), ada kecenderungan masyarakat mengimajinasikan ideologi partai di negara ini hanya ada dua. Yaitu partai berideologi Nasionalis dan partai berideologi agama. Dan di setiap pemilu “jualan” atau promosi partai-partai selalu bermuara pada isu-isu kebangsaan (nasionalisme) dan agama. Meskipun berikutnya  ada juga partai-partai yang mendeklarasikan diri berideologi sintesis antara nasionalis dan religius. Dalam perhelatan Pemilu 2019 ini ada yang unik. Yaitu kemunculan kolaborasi partai-partai nasionalis dengan partai-partai berbasis agama. Kolaborasi partai-partai ini mempunyai konsekuensi logis terhadap proses akulturasi dan integrasi berbagai partai peserta pemilu yang berideologi nasionalis dan agamis yang awalnya secara diameteral berbeda, sekarang menyatu untuk mengusung dua calon presiden dan calon wakil presiden.  Calon nomor 01 diusung PDIP yang cenderung nasionalis, berkolaborasi dengan PPP dan PKB yang cenderung agamis. Calon nomor 02 diusung Gerindra yang cenderung nasionalis berkolaborasi dengan PKS dan PAN yang cenderung agamis. Pola kolaborasi partai-partai yang berbasis pada ideologi nasionalis dengan religius dalam pemilu mendatang memberikan harapan atau optimisme positif. Karena idealnya, dengan menyatunya kedua ideologi partai yang mengusung capres dan cawapres 01 dan 02, maka  tidak ada lagi kesenjangan antara partai-partai yang berbasis nasionalis dan agamis yang selama ini menjadi peluang konflik kepentingan (conflict of interest) di antara keduanya. Namun problem besar dari realitas ini adalah kecenderungan “isu-isu agama” yang dipolitisasi semakin menguat dan cenderung membuka konflik baru serta memungkinkan lebih rawan dan berbahaya dari sekadar perbedaan ideologi partai antara nasionalis dan agamis. Hal ini dikarenakan; pertama, isu-isu politik yang dasarkan pada agama cenderung mengurangi peran rasionalitas dalam mempertimbangkan akibat dari kebijakan dan proses sosialisasinya. Dalam kompetesi pemilu dan pileg, belum terbiasa calon-calon menyampaikan hal-hal yang positif dari lawan politiknya. Bahkan bisa dipastikan cenderung hanya mengungkap kekurangan lawan politiknya, baik atas nama “oposisi” ataupun hanya sekadar atas nama kompitetor. Kebiasaan ini mempunyai dampak yang luar biasa “kurang baik” bagi pendidikan politik masyarakat baik yang pro maupun kontra. Apalagi yang dibangun adalah narasi negatif dengan berbasis argumen-argumen “seolah-olah” dari agama Kedua, kolaborasi partai-partai yang berideologi nasionalis-agamis menciptakan suasana baru yang saling memengaruhi satu dengan yang lain. Bahkan memungkinkan berebut pengaruh dominan di dalam koalisinya. Pandangan keagamaan koalisi nomor 01 dipastikan sangat dipengaruhi tokoh-tokoh PKB dan PPP. Sementara koalisi Nomor 02 sangat dipengaruhi tokoh-tokoh PKS, PAN dan FPI. Dengan struktur seperti ini, isu-isu politik berbasis agama yang dimainkan kedua koalisi cenderung akan terus meningkat dan rawan konflik. Karena pemahaman agama dari kelompok dominan dari partai-partai  pendukung berbasis agama keduanya cenderung berbeda. Untuk koalisi nomor 01,  kelompok dominan keagamaan lebih mudah terkontrol, karena kebanyakan tokoh PKB dan PPP masih loyal kepada tokoh berpengaruh Nahdatul Ulama (NU). Berbeda dengan koalisi nomor 02, tampaknya lebih rumit untuk menyatukan pemahaman keagamaannya. Karena dalam koalisi ini kelompok-kelompok keagamaan lebih bervariasi antara PKS yang cenderung berbeda dengan PAN. Begitu juga keduanya berbeda dengan FPI, sebagai salah satu pendukung utamanya. Ditambah lagi tokoh-tokoh eks HTI. Sebagian masyarakat mengkhawatirkan dengan kondisi ini. Namun sebagian masyarakat lain masih memercayai bahwa di tengah varian pemahaman keagamaan yang memengaruhi koalisi nomor 01 dan nomor 02 yang berpotensi menimbulkan kerawanan konflik, Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah masih mempunyai peran kuat untuk mengendalikan dan meminimalisasi kecenderungan konflik akibat perbedaan pilihan capres-cawapres tahun ini. Paradoks adalah bagian dari kehidupan. Bahkan mungkin kehidupan itu sendiri adalah paradoks. Apalagi dalam kehidupan politik yang penuh dengan intrik. Pemilu adalah salah satu momentum politik penting sebuah negara untuk menawarkan kemampuan, gagasan, dan komitmen  calon pemimpin kepada masyarakat dalam membangun dan mengelola negara yang lebih baik. Dan dipastikan akan dipenuhi dengan paradoks-paradoks. Untuk itu, idealnya  pemilu dapat dijadikan sebagai media brainstorming,  berbagi gagasan untuk disepakati dan dilaksanakan dalam mengelola institusi negara ini. Namun semangat ini bisa saja hilang, ketika masyarkat disebarkan dan ditanamkan ketidakpercayaan (mistrust) dan kebencian kepada paslon-paslon tersebut dengan berbasis keyakinan agama, yang cenderung meminimalisasi rasionalitas. Wallahu a’lam. (*) *Penulis adalah Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: