Menyambut Lahirnya Undang-undang Desa

Menyambut Lahirnya Undang-undang Desa

Oleh: Jaeni SPd  PADA tataran wiata dunia “demokrasi” yang konon berarti kekuasaan rakyat. Karena berasal kata dari demos (rakyat) dan kratos/kratein yang artinya kekuasaan. Dengan demikian demokrasi berarti kekuasaan yang berasal dari rakyat, dilakukan oleh rakyat, dan untuk kepentingan rakyat. Negara Indonesia termasuk negara nonblok dimana kita tidak memihak. Atau bukanlah negara liberal juga bukan pula negara sosialis. Tetapi dengan tegas kita menganut atau menggunakan demokrasi Pancasila. Pancasila diambil dari karakter dan falsafah bangsa yang sangat luhur dan syarat dengan makna yang jika kita mau menggali, maka bangsa ini akan semakin terlihat keistimewaan-keistimewaannya di mata dunia bila dibanding dengan bangsa lain. Satu contoh saja toleransi yang tinggi antarumat beragama bentuk cerminan dan pantas kita mendapat julukan “negara seribu mimpi”, saking banyaknya agama tetapi dapat hidup rukun dan damai dalam kerangka NKRI. Suatu negara akan baik jika kaum wanita atau ibu-ibunya baik. Kalau kita umpamakan ibu disini adalah desa, maka jika desa-desa di seluruh antero Indonesia telah baik dan makmur maka, negarapun akan baik. Indonesia yang telah merdeka sejak 68 tahun yang lalu bukanlah umur anak-anak lagi tetapi telah beranjak dewasa. Namun dalam pelaksanaan pemerintahan masih sangat memprihatinkan rakyatnya yang haus akan ketentraman, kedamaian serta kemakmuran. UUD 1945 telah tegas bahwa Negara Indonesia menggunakan sistem desentralisasi, tetapi sampai saat ini masih terus dan terus mencari bentuk yang tepat format seperti apa harusnya. Dari UU No 22 Tahun 1999, kemudian berubah lagi dengan UU No 23 Tahun 2004, yang kalau kita tarik benang merahnya akan dibawa kemana desentralisasi kita ini? Dari waktu ke waktu antara kuwu atau kepala desa dengan BPD yang semula dirancang menjadi mitrakerja yang seiya sekata, namun yang terjadi saling gontok-gontokan untuk melindungi kepentingan dan egonya masing-masing. Bukannya bagaimana menyelaraskan antara keduanya dalam mengusung suatu desa yang maju dan bermartabat. Entah harus mulai dari mana yang mesti diperbaiki, karena kalau masih berkutik dari persoalan mana yang lebih dulu ada apakah telur dulu apakah ayam dulu, maka persoalan tak akan pernah selesai. Apakah dari Perubahan UU Desa dulu atau dari di tingkat desa, kecamatan atau atau kabupaten? Kalau saja di desa terjadi keharmonisan dan niat baik untuk menjalankan komitmen terhadap aturan yang ada, sepertinya dengan UU yang manapun akan berjalan baik, tetapi jika kepentingan yang dikedepankan maka selama itu pula tidak akan berjalan dengan baik. Contoh kuwu dengan kelompoknya yang menamakan diri dengan Asosiasi Kuwu Seluruh Indramayu (AKSI) atau Parade Nusantara dan apalah namanya semua getol hanya memperjuangkan kepentingan diri dan kelompoknya dan tidak menyelaraskan dengan kepentingan masyarakat di desa pada umumnya dengan berbagai alasan. Disisi lain adanya BPD yang dibentuk secara sah berdasarkan UU tetapi pada kenyataannya hanya dilirik dengan sebelah mata oleh berbagai pihak, baik di desa oleh kuwu, di kecamatan atau pihak Otdes di Kabupaten serta tak terlalu banyak diperhatikan oleh pemerintah kabupaten. Sepertinya lembaga BPD dibentuk tetapi diterlantarkan begitu saja tanpa hak-hak dan kewajiban yang jelas baik secara moral, materil maupun secara hukum. Banyak persoalan di desa yang muncul dari penetapan APBDes dan LKPJ yang tak sesuai, Pengangkatan BPD yang seenaknya sendiri oleh kuwu dan banyak persoalan yang ada tak mendapatkan reaksi yang sigap dari institusi terkait. Walau berbagai masukan dan usulan serta teguran telah dilakukanya, tapi tenang-tenang saja. Kalau hal ini dibiarkan tanpa ada peran serta dari semua pihak,  baik institusi yang terkait termasuk masyarakat, maka sangat dihawatirkan keadaan Desa dimanapun jika Kuwu dibiarkan seperti bandar (pemborong), maka sangat dipastikan masyarakat akan sangat dirugikan. Apalagi jika Undang-Undang Desa yang akan diberlakukan dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah diterapkan dimana konon dana sebesar Rp500.000.000,- (limaratus juta rupiah) yang turun ke tingkat Desa. Dengan nilai yang sangat fantastik tersebut, tetapi jika dengan tidak dibarengi perbaikan institusi yang ada di tingkat desa, maka akan semakin parah sistem desentralisasi yang hancur dan banyaknya bermunculan raja-raja di desa. Kalau kita menilik UU No 22 Tahun 1999 dimana peran BPD sudah cukup bagus karena adanya pengawasan yang sangat berarti pada pemerintah desa (kuwu), sehingga ada bentuk check and balance atau check and recheck. Tetapi setelah ada perubahan dengan UU No 32 Tahun 2004, maka BPD sebagai wakil masyarakat yang mengawasi kuwu semakin kehilangan pijakan alias seperti macan ompong yang tak memiliki taring sedikitpun. Dengan kondisi demikian seorang kuwu semakin mendapat angin segar, maka tak ayal lagi bagi seorang kuwu yang Innama A’malu Binniatnya kurang baik  akan sangat jelas menjadi raja di desa yang tak dapat disentuh. Jika institusi yang ada tak difungsikan, karena peran BPD disini sangat-sangat minim bahkan terkesan hilang hanya sebagai sarang yang dijadikan angin lalu. Diharapkan dengan semangat kebangkitan nasional ini kita songsong UU Desa dengan pembaharuan yang nyata. Dengan catatan seperti tertuang dalam Lagu Indonesia Raya “Bangnlah jiwanya Bangunlah Badannya untuk Indonesia Raya” jadi mari kita bangun dulu jiwa-jiwa, moral-moralnya, akhlaqnya dahulu baru kita bangun badannya. Jika ini yang dilakukan kami berkeyakinan desa maju, Indonesaia jaya. (*)   *Penulis, Waka Asosisasi BPD Seluruh Indonesia (ABSI) Kabupaten Indramayu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: