Ok
Daya Motor

FKSS Indramayu Sesalkan Kebijakan KDM, Wiwin Alfian: Merugikan Anak dan Orangtua!

FKSS Indramayu Sesalkan Kebijakan KDM, Wiwin Alfian: Merugikan Anak dan Orangtua!

Ketua FKSS Indramayu Wiwin Alfian SPd menyampaikan kekecewaannya terkait Kepgub PAPS yang dinilai merugikan sekolah swasta di Jawa Barat.-Anang Syahroni-Radarcirebon.com

Kebijakan ini berdampak langsung pada minat calon siswa mendaftar ke sekolah swasta

Demikian juga yang terjadi di Indramayu. Bahkan, menurut Wiwin, ada sekolah swasta yang hingga saat ini belum menerima siswa baru sama sekali.

BACA JUGA:Pegawai Bank bjb Bobol Uang Nasabah Rp2,1 Miliar, Ternyata Digunakan untuk Membangun

BACA JUGA:Kebakaran Rumah di Cipanas, Kabupaten Cirebon, Kerugian Diperkirakan Mencapai Puluhan Juta

Lebih lanjut Wiwin menegaskan, bahwa kebijakan KDM tidak hanya berdampak pada nasib sekolah swasta. Tapi, berimbas pula pada sekolah negeri

Terutama sekolah negeri yang tidak diunggulkan. Atau bukan sekolah favorit.

Menurut Wiwin, sekolah yang kerap kekurangan siswa baru, sekarang semakin tertinggal. Sedangkan sekolah favorit semakin membludak.

“Sebetulnya, program PAPS ini bagus jika diterapkan dengan aturan yang tepat. Jika tujuannya untuk membantu anak-anak dari keluarga kurang mampu, maka harusnya melibatkan pihak-pihak seperti Dinas Sosial atau program PKH. Tapi implementasinya tidak sesuai, terutama terkait jumlah siswa dalam satu rombel,” ungkapnya.

Wiwin juga menegaskan bahwa penambahan jumlah siswa dalam satu rombel pernah dilakukan, namun hanya untuk sekolah di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). 

Dalam Permendikbudristek sudah ditentukan bahwa satu kelas harus memiliki luas 72 meter persegi, dengan alokasi 2 meter persegi per siswa. Maka, wajar jika batas maksimal ditetapkan 36 siswa per rombel.

“Kalau dipaksakan tetap 50 siswa per kelas, maka ruangannya harus seluas 100 meter persegi. Di Indramayu, hampir tidak ada sekolah dengan ruang kelas sebesar itu. Kalaupun ada, mungkin hanya ruang serbaguna atau perpustakaan yang disulap jadi kelas. Ini akan berdampak pada pengisian data di Dapodik, karena sistem akan menolak jumlah siswa yang melebihi batas,” jelasnya.

Ia pun mengingatkan bahwa jika data siswa tidak bisa dimasukkan ke Dapodik, maka akan berdampak serius. 

Siswa bisa kehilangan legalitas karena tidak tercatat secara resmi, bahkan bisa terancam tidak bisa ikut ujian nasional dan tidak mendapatkan ijazah.

“Ini akan merugikan anak dan orang tuanya. Karena itu, kami meminta Gubernur bersikap lebih bijak. Jangan seperti politik belah bambu—mengangkat satu pihak dengan menjatuhkan pihak lain. Guru-guru di sekolah swasta juga warga Jawa Barat yang sama-sama ingin berkontribusi,” tegasnya.

Wiwin menambahkan, penanganan anak putus sekolah seharusnya tidak hanya diserahkan kepada sekolah negeri. 

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait